Tak pernah Selma rasakan kegugupan yang luar biasa selama hidupnya. Ya, sekarang ia tengah berada di salah satu ruangan yang ada di kampus Hijau, Universitas yang mengadakan lomba ilustrasi tersebut.
Gadis yang hari ini menguncir rambutnya itu tampak duduk gugup di tempatnya. Lomba akan dimulai beberapa menit lagi. Kursi-kursi di sampingnya pun sudah terisi oleh banyak siswa-siswi sepertinya. Lomba ilustrasi ini memang hanya diperuntukkan anak sekolah tingkat menegah atas dengan membawakan nama sekolahnya.
Kertas kosong, pensil, penghapus, penggaris, spidol warna-warni serta alat-alat menggambar lainnya sudah Selma tata dengan rapi di atas mejanya. Dari tadi mata gadis itu tampak mengitari seluruh ruangan, menatap satu-persatu murid di sana yang hari ini akan menjadi saingannya.
Dari arah depan, ada panggung mini dimana para juri akan duduk mengawasi para peserta dari sana. Panggung itu masih diisi oleh para panitia yang tampak sibuk mempersiapkan acara.
"Selma? Kamu gak papa?"
Kepala Selma refleks menoleh ketika mendengar suara Bu Kiana. Ia pun berusaha menampilkan senyum yang malah terlihat aneh di mata Bu Kiana. "Selma gak papa kok, Bu."
"Dari luar Ibu perhatiin kamu kayak gugup gitu. Kamu baik-baik aja, 'kan?"
Mengikuti lomba dimana ada sesuatu yang besar dipertaruhkan, bolehkah Selma bilang kalau itu cukup memberatkan? Tentu saja sekarang ini ia sedang tidak baik-baik saja. Rasa gelisah dan cemas terus saja menghantuinya.
"Entahlah, Bu. Saya kayak gelisah gitu, takutnya saya ngecewain Ibu sama yang lain," jawab Selma jujur. Percuma juga ia berbohong, Bu Kiana pasti tidak akan percaya. Pembina ekskul Drawing Club itu pasti sudah mengawasi gerak-geriknya sedari tadi.
Bu Kiana tampak menghela napas sejenak, lantas mengusap punggung anak muridnya itu dengan sayang. "Ibu ngerti perasaan kamu kayak gimana. Tapi apapun yang kamu lakuin, gimana pun nanti hasilnya, semua pasti bisa nerima, Selma. Kalau pun kamu nantinya gak dapet piala, itu gak masalah buat Ibu sama yang lain. Meskipun memang ada yang harus kita relakan di sini. Tapi kamu harus tau, di sini, kamu ngikutin lomba ini bukan semata-mata ingin mempertahankan Drawing Club. Kamu, di sini juga harus nunjukkin kalo ketua Drawing Club Star High itu sangat bertanggungjawab atas ekskulnya."
"Tapi gimana kalo misalnya Selma gak berhasil bawa piala, Bu?"
"Itu bukan masalah besar. Poin pentingnya di sini itu rasa bertanggung jawab kamu. Kalo memang kamu beneran sayang dan cinta Drawing Club, kamu bakalan pertahanin itu apapun yang terjadi, 'kan?"
Secara tidak langsung Bu Kiana sedang memberinya motivasi. Selma berusaha mencerna kata per-kata yang pembinanya itu ungkapkan.
" ... Kalo memang kamu beneran sayang dan cinta Drawing Club, kamu bakalan pertahanin itu apapun yang terjadi, 'kan?"
Iya, sesuatu yang dicintai Selma pasti akan ia pertahankan. Entah itu, keluarganya, teman, bahkan ekskulnya. Apapun pasti ia usahakan untuk mempertahankan hal tersebut.
Maka dengan senyum yang mengembang di bibir, Selma mengangguk semangat. "Saya bakalan pertahanin Drawing Club, Bu!" ungkapnya dengan nada tegas, tak terbantahkan.
Bu Kiana pun lega mendengarnya. Turut merasakan semangat membara dari Selma. Beruntung anak didiknya yang satu ini tak mudah digerus rasa kecemasan. Cukup diberi motivasi, maka ia akan meninggalkan rasa yang bisa membuatnya gelisah.
"Yaudah kalo gitu, Ibu tinggal dulu. Bentar lagi lombanya dimulai. Ibu pantau dari luar."
"Siap, Bu!"
Setelah mengucapkan salam, Bu Kiana pun melenggang dari sana. Bersamaan itu tampak beberapa panitia menginterupsi orang-orang yang bukan peserta untuk segera keluar dari ruangan karena lomba sebentar lagi akan dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halcyon [Completed]
Teen FictionSelma Tabitha bukanlah murid terkenal di Star High. Gadis berambut sebahu itu hanyalah siswi biasa yang beruntung bisa terangkat menjadi ketua drawing club. Hidupnya tenang-tenang saja dan terkesan monoton. Sampai suatu hari Selma melakukan sebuah k...