Griz melipat kedua tangan di depan dada. Dia merasa Ravin bukan lelaki yang mudah ditaklukkan. "Menarik," gumamnya sambil menatap mobil hitam yang melaju menjauh itu.
Griz berbalik dan berjalan cepat menuju lift. Dia harus mencari tahu kedatangan lelaki itu di kantornya. Selama ini, dia tidak pernah mendapat klien setampan Ravin.
Sampai di lantai atas, Griz masuk ke ruangan yang paling luas di antara ruangan lainnya. Dia berdiri, melihat papanya yang duduk sambil mengusap kening. "Papa...."
Farizan mengangkat wajah. Dia tersenyum samar sebelum akhirnya geleng-geleng melihat penampilan anaknya. "Kamu mau kerja atau gimana?"
Griz terlihat bosan dengan pertanyaan itu. Dia melangkah mendekat dan duduk di depan papanya. "Papa habis meeting?"
"Ya. Cuma sebentar." Farizan menutup berkas di depannya kemudian memasukkannya di laci. "Ada apa pagi-pagi nemuin papa?"
Sudut bibir Griz tertarik ke atas. "Lelaki tampan tadi, jadi partner bisnis kita?"
"Jangan macem-macem. Papa nggak akan izinin kamu deketin dia." Farizan tahu kebiasaan anaknya yang suka bergonta-ganti pacar itu. Entah, anaknya itu mencari lelaki seperti apa. Kebanyakan Griz memutuskan pacarnya karena tidak cocok. Dia yakin, jika anaknyalah yang justru berbuat ulah.
Griz memajukan tubuh. "Papa tahu, keinginanku selalu terwujud?" tanyanya dengan senyum samar. "Sekarang aku mau dia."
"Griz! Jangan macem-macem!" Nada suara Farizan meninggi. "Udah saatnya kamu berubah. Tidak semua yang kamu mau selalu terwujud!"
"Apa yang aku inginkan selalu terwujud!" Griz berdiri kemudian menyibak rambutnya ke belakang. "Oke, kalau papa nggak mau ngasih tahu. Aku bisa cari sendiri." Griz berbalik dan meninggalkan ruangan.
Farizan membingkai kepala melihat kelakuan anaknya. "Hidup nggak akan ada yang tahu Griz, dan kamu belum belajar tentang itu."
***
Ketika jam makan siang, Griz memesan makanan sehat dan segelas jus jeruk. Sambil memakan, jemari lentiknya bergerak di ponsel keluaran terbarunya. Dia mencari berita tentang Ravin beserta media sosialnya. Namun, lima belas menit mencari dia tidak berhasil menemukan. Berbeda dengan artikel yang banyak membahas tentang kepintaran Ravin dalam berbisnis.
"Ah! Nih, orang kayaknya kolot!" Griz mendorong ponsel kemudian menyeruput minumannya. "Bagaimana mungkin orang zaman sekarang nggak punya media sosial?"
Griz kembali mengambil ponsel dan mengetikkan nama Ravin. "Ravindra Axelle," gumamnya saat melihat artikel tentang lelaki itu. Ibu jarinya bergerak, hingga mendapati salah satu restoran yang baru dibangun Ravin.
Tak.... Griz meletakkan ponsel di atas meja. "Gue tahu harus ke mana!"
Griz mengambil tas dan memasukkan ponsel di sana. Setelah itu dia mengambil kacamata hitam yang tergeletak di ujung meja. Dia melangkah keluar sambil memakai kacamata eyecat yang dia beli saat liburan bulan lalu.
Wanita itu mengemudikan mobilnya ke salah satu restoran tidak jauh dari kantor. "Benar apa kata gue, keinginan gue selalu terwujud," gumamnya sambil menambah laju kecepatan mobilnya.
Beberapa saat kemudian, Griz sampai di restoran Jepang yang didominasi warna merah. Dia turun dari mobil dan membuka kacamata. "Baru tahu kalau restoran ini punya dia," gumamnya sambil memperhatikan bangunan dua lantai itu.
Griz melangkah masuk dan berjalan menuju meja kasir. "Saya ingin bertemu manajermu."
Penjaga kasir terlihat kaget dengan pengunjung yang terlihat angkuh itu. "Maaf, Kak. Apa sudah membuat janji?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...