TIE-35

1.9K 95 10
                                    

Pagi-pagi Azkia terlihat khawatir karena bosnya belum juga datang. Dia teringat saat bosnya datang terlambat dan ternyata sakit. Azkia berkali-kali ingin menghubungi Ravin, tapi takut lelaki itu marah.

"Sampai jam sepuluh nggak dateng, gue harus telepon," tekad Azkia. Dia meletakkan ponsel di atas meja lalu menatap komputer. Sayangnya, dia tidak bisa berkonsentrasi.

Dap... Dap... Dap....

Azkia segera berdiri saat mendengar suara derap langkah. Dia tersenyum melihat kedatangan Ravin. Lelaki itu memakai kemeja navy tanpa dasi dan jas seperti biasa. "Selamat pagi, Pak," sapanya sambil menunduk.

Ravin hanya merespons dengan anggukkan. "Jadwal saya hari ini?"

Azkia dengan cepat mengambil tablet dan menyusul langkah bosnya. "Silakan, Pak!" Dia menyerahkan tablet itu ke Ravin.

Hari ini Ravin tidak banyak pekerjaan yang mengharuskannya ke luar. Namun, ada beberapa meeting internal bersama karyawan bawahannya. Ravin mengembalikan tablet itu dan menatap Azkia. "Kamu sudah siapkan semuanya?"

"Sudah, Pak."

Ravin mengangguk. Dia ingin mulai bekerja, saat tiba-tiba teringat sesuatu. "Ah, kamu bisa pesankan saya bunga?"

Azkia mengernyit. "Bisa, Pak. Mau dikirim ke mana?"

"Ke apartemen saya!" jawab Ravin. "Pilihkan bunga apapun kecuali mawar kuning." Ravin ingat Griz yang marah-marah karena diberi mawar kuning. Padahal bunga itu bagus dengan warna yang cerah.

"Baik, Pak...." Azkia berjalan menjauh. Namun, baru beberapa langkah terdengar suara Ravin.

"Jangan lupa tuliskan notes. Intinya ngasih dukungan."

Azkia menarik napas panjang. Dia merasa bunga itu untuk Griz dan sepertinya mereka sedang dalam masalah. "Baik, Pak!" jawabnya tanpa menatap lawan bicaranya. Setelah itu dia memutuskan keluar.

"Ck!" Azkia tampak sebal. Dari tadi dia khawatir, tapi lelaki itu tidak menyadarinya. Justru mengkhawatirkan Griz. "Oke! Gue harus pesen bunga buat Griz!"

Ravin membuka laptop, saat teringat sesuatu. Dia beranjak dan membuka pintu ruangan.

"Pak Ravin mengirimkan buket bunga, sepertinya untuk Bu Griz."

Pandangan Ravin tertuju ke meja Azkia tapi wanita tidak terlihat, hanya terdengar suaranya. Ravin mendekat tanpa suara.

"Baik Pak Roish. Saya pasti akan selalu mengabarkan." Azkia mematikan sambungan kemudian menegakkan tubuh. Saat itulah, perhatiannya langsung tertuju ke Ravin.

"Saya ingin mengingatkan jangan kasih berita apapun ke papa saya," ujar Ravin. "Tapi saya terlambat."

Azkia seketika berdiri dan menunduk. "Maaf, Pak. Saya...."

"Dia menjanjikan sesuatu?" tebak Ravin sambil mencondongkan tubuh.

Aroma parfum Ravin yang sebelumnya Azkia sukai, sekarang tercium dan membuatnya ketakutan. Dia semakin menunduk, tidak berani menatap bosnya yang pasti terlihat menakutkan.

"Jawab!" perintah Ravin dengan suara pelan tapi menusuk.

Azkia menarik napas panjang kemudian memberanikan diri menatap Ravin. "Pak Ravin," jawabnya. "Beliau menjanjikan Pak Ravin."

Ravin berdiri tegak sambil mendengus. "Buang perasaanmu kalau masih mau kerja sama saya."

"Tapi apa Bapak...." Azkia tidak bisa melanjutkan kalimatnya.

"Tapi apa?"

Mata Azkia berkaca-kaca. Dia menatap lelaki yang tidak hanya dia anggap sebagai bos itu. "Apa Bapak tidak mau menatap saya? Sebagai seorang wanita?"

Take it EasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang