TIE-49

1.5K 81 8
                                    

Beberapa jam sebelumnya.

Usai makan, Griz masih duduk di tempatnya. Dia memperhatikan Ravin yang sedang membersihkan sisa makanan. Lelaki itu sejak tadi berusaha menghibur dan lebih banyak berbicara. Sedangkan Griz, hanya menanggapi seperlunya.

Ravin tahu, Griz tengah memperhatikannya. Dia mencuci piring kotor dengan cepat kemudian berbalik. "Mau gue bantu?"

"Ha?" Griz mengernyit.

"Mau gue bantu cari orangtua lo?" tanya Ravin sambil mendekat. "Lo pasti ngerasa orangtua lo tinggal sama papa gue. Gue juga ngerasa kayak gitu."

Griz mengangkat bahu pelan. Entahlah, dia bingung harus memulai dari mana.

"Gue bisa bantu lo." Setelah mengucapkan itu Ravin menuju ruang kerja. Dia mengambil kertas dan pulpen kemudian kembali ke meja makan. Setelah itu dia mulai menggambar denah rumahnya.

Perhatian Griz tertuju ke tulisan tangan Ravin yang agak latin itu. "Lo serius?"

Ravin mengangguk samar. Dia mengambar dengan detail setiap ruangan yang ada di rumah. Bahkan dia juga memberi tanda ruangan yang bisa menjadi tempat bersembunyi. "Lo lihat!" Dia memutar kertas itu menghadap Griz.

Griz memperhatikan kertas berukuran A4 itu penuh dengan coretan Ravin. Dia juga melihat banyaknya denah ruangan. "Terus?"

"Lo masuk dari sini." Ravin menunjuk ke samping rumah. "Gue masuk dari pintu dan alihin penjaga."

"Di rumah lo banyak penjaga?" Griz tersenyum kecil. Dia dan orangtuanya saja tidak memiliki banyak penjaga. Jelas hal itu memberi tanda jika Roish memiliki banyak musuh.

Ravin memperhatikan Griz yang tersenyum mengejek. "Ya. Di rumah gue banyak orang," ujarnya. "Makanya lo harus denger penjelasan gue."

"Oke. Lanjutin!"

"Nanti lo loncat turun ke pinggiran kolam. Terus lo masuk ke area mini bar. Biasanya tempat ini kosong." Ravin menunjuk denah sebelah kanan. "Terus lo masuk sini dan nemuin tangga. Biasanya di tengah ada yang jaga. Tapi gue pastiin nanti mereka keluarga juga."

Griz mengangguk sambil menghafal letak denah itu. "Di mana orangtua gue disembunyiin?"

Ravin memegang pulpen semakin erat. "Kemungkinan di sini." Dia menunjuk ke ruang kerja lantai bawah. "Di sini ada kamar kecil juga. Kemungkinan mereka di sini."

"Di ruang kerja?"

"Papa gue pasti nyuruh bokap lo buat kerja terus," jawab Ravin. "Kalau di sini nggak ketemu, langsung cari ke kamar tamu. Di deket ruang tengah."

"Kalau nggak ketemu juga?"

Satu tangan Ravin terkepal. "Kalau tetep nggak ketemu dan kondisi nggak aman, lo bisa langsung naik ke lantai dua. Kamar gue di sebelah kanan."

"Ngapain gue harus ke kamar lo?"

"Karena itu tempat yang aman, Griz," jawab Ravin sambil memandang wanita di depannya. "Sandinya empat belas, nol empat, enam belas."

Griz mengangguk. "Gue ngerti."

"Jangan keluar sebelum gue dateng," ujar Ravin. "Pastiin kunci jendela juga. Di kamar gue ada tralisnya, jadi orang nggak bisa masuk. Makanya, tunggu sampai gue dateng."

"Ya...." Griz mengangkat kertas itu kemudian duduk bersandar. "Gue hafalin dulu."

"Kita berangkat jam satu malem. Pastiin kondisi lo prima."

"Hmm. Gue berasa ke sarang penjahat."

"Kita nggak tahu apa yang bakal terjadi, Griz. Gue cuma minta lo jaga-jaga." Setelah mengucapkan itu Ravin beranjak menuju ruang kerjanya.

Take it EasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang