Kepala Ravin semakin tertunduk, hingga keningnya menabrak sesuatu. Dia yakin jika itu adalah pundak Griz. Ravin membiarkan keningnya menempel di sana untuk beberapa saat.
Gerakan Griz tiba-tiba terhenti. Dia tersenyum, merasa lelaki itu agak manis. Tangannya lalu mengusap pundak Ravin. "Capek?"
"Hmm...." Ravin mencari posisi nyaman. Bahkan kedua tangannya sekarang melingkar ke pinggang Griz.
Tubuh Griz terasa kaku. Ini di luar dugaan Ravin bisa bersikap lembut. Griz tidak bisa menahan senyumannya. Dia memeluk Ravin sambil sesekali menepuk punggung lelaki itu. "Makan dulu. Minum obat terus tidur."
Ravin menarik napas panjang. Seketika dia berdiri hingga pelukan Griz terlepas. Dia menatap wanita di depannya yang tersenyum penuh arti. Ravin mendorong kening Griz dengan jari telunjuk lantas berjalan keluar.
"Wah. Apa-apaan barusan?" Griz menyentuh kening sambil berbalik. Setelah itu dia menatap kedua tangannya bergantian. "Gue udah peluk. Gue udah sediain pundak. Tapi respons dia kayak gitu?" Griz lantas berlari keluar.
Griz mendapati Ravin duduk di depan meja bar sambil meminum minuman kemasan. Dia mendekat dan berdiri di depan Ravin. Wajahnya terlihat kaku, sangat tidak terima dengan tindakan lelaki di depannya.
Ravin membuang muka melihat Griz yang kembali aneh. Dia menghabiskan minumannya lalu menempelkan botol itu di kening Griz. "Sana pulang."
"Lo ngusir gue setelah kejadian barusan?" tanya Griz sambil menyangga dagu dengan kedua tangan. "Asal lo tahu harusnya gue ke mal sama temen gue terus seneng-seneng."
"Lo bisa pergi." Ravin menjawab dengan sangat santai. Dia tidak mau menjadi beban bagi siapapun. Karena itulah penting untuk mendahuluan kebutuhan sendiri daripada orang lain. Kadang, orang yang diperjuangkan tidak menganggap perjuanganmu itu.
Griz semakin bergerak maju, hingga sebagian perutnya berada di atas meja. "Ponsel lo mana?"
Ravin mengernyit mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu. Dia terdiam, mencoba mengingat saat tadi melepaskan pakaian. Dia tidak mendapati ada benda yang membebani celananya. "Ketinggalan."
"Yakin nggak dibawa Azkia?" Griz semakin dekat. Kini kedua kakinya menggantung. Tubuh bagian atasnya sepenuhnya berada di meja bar.
"Apaan, sih!" Ravin mendorong kening Griz.
Griz mendorong tangan Ravin, tapi menarik bagian depan kaus lelaki itu. Dia mendongak, melihat Ravin yang menatapnya waspada. "Gue tadi telepon tapi yang angkat Azkia. Dia bilang lo sibuk. Dia seolah-olah nutupin kondisi lo. Padahal gue pacar lo!"
Kedua tangan Ravin memegang tangan Griz. Dia berusaha menarik tangan itu, tapi Griz semakin menarik ujung kausnya. Dia tidak suka dengan tatapan menuduh Griz. Apalagi dia tidak merasa bersalah. "Lo marahin Azkia. Jangan marahin gue."
"Oke gue bakal marahin dia." Griz melepaskan satu pegangannya kemudian sepenuhnya duduk di atas meja. Setelah itu dia kembali menarik kaus Ravin.
Ravin menatap Griz lelah. Rencana untuk memeriksa berkas seketika gagal karena wanita pengganggu di depannya. Apalagi, wanita itu marah-marah tidak jelas. "Ya udah mau lo apa?"
"Akuin gue pacar lo di depan Azkia!" jawab Griz cepat.
"Gila!"
"Emang!"
Ravin geleng-geleng. Dia menarik tangan Griz dan wanita itu langsung melepaskan. Sayangnya, Griz langsung menarik pundaknya. Ravin yang tidak mempersiapkan apapun tertarik ke depan.
Griz memeluk leher Ravin, tidak membiarkan menjauh sedikitpun. Dia lalu menyentuh kening Ravin yang terasa hangat. "Sakit apa?"
Tidak ada respons dari Ravin. Dia memperhatikan Griz yang mendadak lembut itu. Sebenarnya wanita itu pintar berakting atau bagaimana? Ekspresinya mudah sekali berubah. "Nggak sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...