TIE-53

1.7K 93 5
                                    

Perlahan, Griz menggerakkan pisau itu hingga bagian ujungnya menyentuh kulit. Matanya terpejam, enggan melihat saat pisau itu perlahan menyayat kulit kemudian memotong nadinya secara perlahan. Setelah itu darah segar akan keluar secara perlahan.

"Satu...." Griz mulai menghitung sambil menyiapkan mental. "Dua...."

"Ti...."

Bip.... Pintu apartemen terbuka.

Griz langsung membuka mata dan menatap ujung pisau itu berada di nadinya.

"LO GILA, YA!" Andrik baru masuk dan melihat Griz yang memegang pisau. Seketika dia mendekat dan mendorong Griz.

Bugh....

Griz terjatuh dengan posisi miring. Pisau yang tadi dipegang terlepas begitu saja. "Lo ngapain, sih?"

Andrik segera mengambil pisau itu dan berlari keluar. "Lo bener-bener nekat, Griz!" Dia meletakkan benda tajam itu di bawah rak sepatu kemudian kembali. "Ngapain barusan?"

Griz bangkit sambil menyentuh lengan kanannya yang terasa nyeri. Dia melirik ke meja dapur, mencari pisau lain. Sayangnya, tidak ada benda tajam lainnya.

"Gue cuma punya satu pisau dan udah gue buang," jawab Andrik.

"Dua kali lo gagalin rencana gue."

"Harusnya lo bersyukur!" Andrik tidak habis pikir dengan Griz. "Mana Griz yang keren? Mana Griz yang percaya diri dan bikin wanita lain iri? Mana Griz kayak gitu?"

Air mata Griz seketika turun. Dia terbayang saat dia menganggap dunia berada di telapak tangannya. Dia bisa membeli barang yang disuka. Dia bisa pergi ke belahan dunia manapun tanpa pikir panjang. Serta, dia bisa melakukan apapun seolah semua itu diciptakan untuknya.

Namun, apa yang barusan Griz lakukan? Serta apa yang dia lakukan di rooftop rumah sakit? Itu adalah sosok Griz yang tidak memiliki apapun. Tidak ada lagi dunia dalam genggaman.

Orang-orang sependapat, bahwa kasih sayang dan keluarga adalah harta yang paling utama. Mereka akan bersyukur jika kehilangan harta daripada kehilangan keluarga. Sedangkan Griz, harta utama saja dia tidak punya.

"Wajar gue ngelakuin itu," gumam Griz.

"Enggak, Griz! Itu nggak wajar."

"Gue nggak diharepin di dunia ini!" Griz berteriak histeris. "Gue nggak punya keluarga yang katanya harta paling berharga."

Andrik terdiam memperhatikan Griz yang mengeluarkan unek-uneknya. Menurutnya ini lebih baik daripada wanita itu hanya diam. Rasa sakit yang ditahan, justru menjadi monster yang berkembang hingga akhirnya menyakiti diri sendiri.

"Nggak ada seorangpun yang peduli sama gue," jawab Griz sambil menunduk.

"Apa yang gue lakuin barusan bukan tanda peduli?"

Griz tidak menjawab. Dia memeluk kedua lutut dan menyembunyikan wajah di sana. Lengannya meremang dan tubuhnya terus bergetar.

"Gue lihat pakai mata kepala gue sendiri ada cowok yang nyariin lo," ujar Andrik ingat kejadian beberapa jam yang lalu. "Dia nyariin lo kelimpungan. Dia kelihatan kalah perang waktu nggak berhasil nemuin lo."

Masih tidak ada jawaban dari Griz.

"Dia Ravin." Andrik berbicara dengan lembut. Dia maju selangkah mendekati wanita yang menangis pilu itu. "Gue lihat Ravin nyariin lo. Gue yakin dia juga sama gilanya kayak lo. Tapi dia masih berpikir waras. Dia usaha buat nyariin lo dan bikin lo bangkit."

"Dulu...." Griz menatap Andrik dan terlihat menelan ludah. "Lo... nggak...."

"Nggak begitu suka sama Ravin?" tebak Andrik. "Sekarang bukan tentang suka atau enggak. Tapi gue ngomongin fakta."

Take it EasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang