Krukk....
Griz terbangun tengah malam. Dia menyentuh perutnya yang sejak lima menit yang lalu berbunyi. Dia heran mengapa hari ini gampang lapar. Sebelumnya dia tidak pernah terbangun karena kelaparan.
Krukk....
"Ish!" Griz berdecak karena perutnya itu. Dia menyibak selimut dan terduduk. Kemudian mendongak, melihat jam dinding yang menunjukkan pukul dua dini hari.
Jika sedang di rumah, Griz pasti akan menuju dapur dan mengambil cemilan. Namun, sekarang dia ada di rumah orang lain. Pasti dia akan disangka maling karena mengambil tanpa izin. Meski, tadi Tante Artari meminta untuk menganggap seperti di rumah sendiri.
Krukk....
Griz kehilangan kesabaran mendengar suara perutnya. Dia seketika turun dari ranjang dan memutuskan keluar. "Setidaknya gue butuh minum."
Lampu ruang tengah telah sepenuhnya padam, hanya lampu dari halaman samping yang berwarna kekuningan. Griz mengedarkan pandang, mendapati suasana sangat sepi. Dia melangkah semakin ke dalam kemudian masuk ke dapur yang berada di sebelah kiri.
Griz menoleh ke belakang. Dia benar-benar takut ada yang memergoki kemudian menuduhnya macam-macam. Saat dirasa aman, dia langsung membuka kulkas, mengambil botol air mineral dan menegaknya pelan.
Saat Griz hendak menutup pintu lemari pendingin itu, perhatiannya tertuju ke snack kentang. Tangannya terulur hendak mengambil, kemudian dia menarik tangannya kembali. "Enggak! Gue nggak boleh ambil sembarangan."
"Lo mau ambil?"
Duk....
"Aw!" Griz berjingkat karena suara yang tiba-tiba itu ditambah dengan kakinya yang kejatuhan botol air mineral yang tanpa sengaja dia jatuhkan. Refleks dia menoleh dan melihat seorang lelaki yang bersandar di pintu dapur.
Griz terlihat seperti maling yang tertangkap basah. Dia segera menunduk dan memungut botol air mineralnya. "Cuma ambil minum."
Tak.... Arvin menyalakan lampu hingga melihat wajah Griz yang memerah. Lelaki itu mendekat lalu membungkuk.
Tubuh Griz menegang. Kedua tangannya refleks terkepal bersiap untuk memukul. "Mau ngapain?"
Arvin mengambil beberapa cemilan kemudian mendorongnya ke Griz. "Ambil aja nggak masalah." Setelah mengucapkan itu dia berjalan menuju rak berisi kopi saset.
Griz menunduk, melihat dua keripik kentang yang tiba-tiba dia dekap. Kemudian dia menatap lelaki yang berdiri memunggunginya itu. "Dari tadi lihat saya?"
"Hmm. Gue di luar," jawab Arvin tanpa menatap lawan bicaranya. "Gue lihat siluet yang jalan sambil ngendap-ngendap."
"Saya nggak ada maksud kayak gitu."
Arvin berbalik setelah membuat secangkir kopi. "Gue tahu," jawabnya. "Mau kopi?"
Griz menggeleng pelan. "Nggak terbiasa."
"Oke...." Arvin berbalik dan kembali berjalan menuju halaman samping.
Tiba-tiba Griz mengikuti. Dia melihat Arvin duduk di dekat kolam sambil memeriksa berkas. Griz mendekat dan merasakan angin yang berembus cukup kencang. "Nggak kedinginan kerja di sini?"
"Gue butuh angin segar biar pikiran gue terbuka."
"Oh gitu...." Griz duduk di hadapan Arvin. Dia melihat beberapa kurva dari lembar kertas di depannya. "Kerja di mana?"
Satu alis Arvin tertarik ke atas. "Tertarik ke gue?"
"Enggak!" Seketika Griz menggeleng. Dia menyadari Arvin tampan, tapi lelaki itu tidak menarik perhatiannya. "Anda anak Bu Artari, wajar kalau saya tanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...