Malam semakin larut. Lelaki yang duduk sambil menelungkupkan kepala di atas meja itu belum juga beranjak. Matanya terpejam, tapi dia tidak tidur. Ravin mencoba mengatur perasaannya yang mendadak tidak keruan.
"Huh...." Ravin duduk tegak sambil menyugar rambut ke belakang. Dia mengucek mata yang terasa panas setelah itu berdiri.
Saat Ravin hendak ke kamar, dia merasa ada seseorang yang langsung bersembunyi. Akhirnya, dia memutuskan mendekati kamar tamu dan mendapati Griz yang tersentak kaget kemudian buru-buru berlari ke ranjang.
Griz kaget saat Ravin tiba-tiba bangun. Dia bersembunyi, berharap lelaki itu tidak melihat keberadaannya. Namun, Ravin berdiri di sampingnya. Griz yang terlanjur panik langsung berlari ke ranjang dan menarik selimut.
Ravin geleng-geleng melihat tingkah Griz. Dia berbalik tanpa mengucapkan sepatah kata. Setelah itu dia masuk kamar dan berbaring di ranjang.
Perlahan, Griz menyibak selimut. Dia mengintip dan tidak mendapati Ravin. Seketika Griz turun dari ranjang dan melangkah pelan menuju pintu. Dia mengintip dan mendapati kamar Ravin terbuka.
Griz memberanikan diri mengintip lagi. Dia melihat Ravin berbaring terlentang. Perlahan senyum Griz terukir, lega karena Ravin beranjak dari tempat tadi. Sebelumnya Griz maju mundur untuk meminta Ravin kembali ke kamar. Sayangnya, nyalinya menciut.
"Ngapain ngelihatin gue?" Tiba-tiba Ravin bersuara.
Tubuh Griz berjingkat. Dia mendekat dan berdiri di dekat pintu. "Butuh sesuatu?"
Ravin menoleh, melihat Griz yang berdiri dan tampak ragu itu. "Masuk aja."
Griz maju selangkah menunggu respons, takut lelaki itu marah lagi. Namun, Ravin tidak banyak berekspresi. Akhirnya Griz memutuskan mendekat dan duduk di samping lelaki itu. "Ada sesuatu?"
"Setelah lo ke sini aura apartemen jadi buruk," ujar Ravin membuat Griz melotot.
"Enggak, ya! Gue membawa aura kebaikan."
Ravin mengucek mata pelan. Dia memposisikan diri agak duduk kemudian matanya terpejam. "Padahal baru kemarin, kan, lo sedih?"
Griz terdiam. "Jadi, kesedihan itu nular?"
"Bisa jadi." Ravin bergerak memunggungi Griz dan memilih menatap jendela kamar. "Udah gue bilang kan kalau bukan cuma lo yang dapat malasah."
"Hmm...." Griz sepenuhnya duduk di ranjang dengan posisi bersila. "Jadi, intinya?"
"Nggak ada inti sama sekali." Ravin membuka mata dan menoleh ke Griz sekilas. "Kenapa nggak tidur?"
Griz tidak bisa tidur setelah melihat Ravin yang tampak frustrasi. Andai bisa, dia ingin duduk di depan lelaki itu dan menemaninya. Sayangnya, Ravin menolak kehadirannya.
"Kadang ngelihat orang lain punya masalah itu bikin lega. Artinya bukan kita aja yang punya masalah. Jadi, ada temen." Tangan Griz bergerak ingin mengusap lengan Ravin. Namun, Ravin sekarang seperti singa yang bisa marah sewaktu-waktu. Kemudian Griz memberanikan diri menyentuh lengan Ravin. Saat tidak mendapat respons, dia mulai mengusap lengan itu.
Ravin melirik tangan Griz yang bergerak di lengannya. Dia bergerak pelan kemudian menarik tangan itu dengan cepat. Hingga tubuh Griz tertarik dan jatuh ke atas tubuh Ravin.
Bola mata Griz membulat. Dia mengerjabkan mata sambil menatap wajah Ravin yang berada di bawahnya. Setelah itu dia melirik posisi tubuhnya sekarang. "Vin. Aduh...." Dia hendak bergerak tapi Ravin menahan gerakannya.
Satu tangan Ravin menarik kepala Griz hingga bersandar di pundaknya. Satu tangan yang lain melingkar ke punggung wanita itu. Dia mengeratkan pelukan, bahkan seperti memeluk guling.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...