Tring....
Suara pintu lift yang terdengar menggema membuat Azkia langsung berdiri tegak. Dia membungkuk, menunggu bosnya datang ke hadapannya. Hingga dia melihat ada sepasang sepatu mengkilat dari sisi kanan.
Azkia memberanikan diri menatap dan mendapati Ravin dengan sorot tajam. "Maaf atas kebodohan saya sebelumnya, Pak," ujarnya. "Saya masih ingin bekerja bersama Pak Ravin."
Ravin maju selangkah, melihat Azkia yang menatapnya penuh penyesalan. "Baguslah. Kamu kembali waras." Setelah mengucapkan itu dia masuk ke ruangan.
"Huh...." Azkia menghela napas berat. Dia segera menyambar tablet dan masuk ke ruangan bosnya. "Jadwal untuk hari ini...."
"... kosongkan."
Azkia langsung menurut. "Ada yang perlu saya bantu?"
Ravin duduk bersandar sambil menatap depan dengan pandangan menerawang. "Konfirmasi ke Pak Rosih, bahwa saya bersedia membantu keperluan vilanya."
"Ha?" Azkia terlihat kaget. Setahunya, Ravin sangat antipati dengan sang papa.
"Lakukan sekarang."
"Baik, Pak...." Wanita dengan setelan krem itu segera keluar, meski diliputi tanya. Dia duduk menghadap monitor dan mengirimkan email sesuai perintah.
Di tempat lain, Rosih duduk di kursi kebesarannya sambil menghadap jendela. Dia melihat awan putih menutupi langit yang cukup cerah. Namun, perlahan awan itu pudar dengan sendirinya.
Tok... Tok... Tok....
Roish bergerak hingga kursinya menghadap meja. "Apa?"
"Pak Ravin mengkonfirmasi akan membantu pembangunan vila."
"Terus pekerjaanmu bagaimana Pak Farizan?" tanya Roish sambil menarik berkas yang disodorkan. "Kamu harus menambah pundi-pundi uang. Bukan malah menghancurkan."
Farizan berdiri sambil berusaha menjaga emosi. Andai dia masih dalam masa kejayaan, sudah jelas dia akan memukul pria di depannya itu. "Tenang saja. Saya tidak akan merugikan Anda, Bapak Rosih."
"Bagus. Memang itulah yang namanya sahabat!" Rosih menjawab sambil tersenyum. "Bukan begitu?"
"Ya...." Farizan berbalik dengan kedua tangan terkepal.
Pandangan Roish masih tertuju ke Farizan, temannya sejak masa kuliah. "Anakmu dalam kendali anakku."
Langkah Farizan seketika terhenti. Griz sama Ravin? Farizan ingat jelas lelaki itu tidak mengatakan apapun setelah memberikan uang. Dia mengartikan Ravin setuju dengan idenya dan sepertinya sekarang terbukti.
"Anakmu terlihat mencintai anak saya!"
Farizan seketika berbalik. "Saya mengenal Griz. Dan dia tidak seperti itu."
"Ah, sayangnya semalam tidak saya rekam." Roish tersenyum samar. "Anakmu mencintai anak saya. Tahu, kan, lemahnya seseorang jika urusan cinta?"
Dada Farizan naik turun. Dia berbalik dan menuju ruangan tersembunyi di samping ruangan Roish. Tidak ada orang lain yang tahu dia bekerja di tempat Roish. Bahkan tinggal di ruang istirahat kantor.
"Ma! Temui Griz dan bilang jangan pernah mencintai Ravin!"
Soraya yang ikut membantu pekerjaan suaminya seketika mengangkat wajah. "Temui Griz?" tanyanya. "Pa, kamu serius?"
"Bukan untuk ngasih tahu keberadaan kita!" jawab Farizan. "Kasih tahu dia harus menguasai Ravin."
"Terus Arvin?" Soraya tidak habis pikir dengan keputusan sepihak suaminya itu. "Kita dapat uang dari Artari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...