Bisa dibilang ini hari paling aneh bagi seorang Ravin. Dia beberapa kali menunduk, melihat kemeja lilac yang tampak mengganggu matanya. Sekian tahun dia selalu memakai warna netral, tapi hari ini memakai kemeja berwarna.
"Ck!" Ravin menarik kemeja itu dengan sebal.
"Udahlah, Sayang...." Griz merapikan kemeja yang barusan ditarik Ravin.
Ravin menghembuskan napas lelah. Dia mengemudi sambil sesekali menatap Griz yang mengenakan pakaian dengan warna yang sama. Mulai pagi ini, wanita itu akan menjadi asistennya.
"Pekerjaan pertama gue apa?" tanya Griz tidak sabar.
Kedua tangan Ravin memegang kemudi dengan erat. Dia menarik laci dashboard dan mengeluarkan kartu kecil di sana. "Jangan lupa kirim ke detektif."
"Ah, iya! Gue hampir lupa." Griz mengambil kartu nama dari detektif yang ditemu kemarin. "Terus?"
Mobil Ravin berhenti di depan kantornya. Dia menatap Griz lalu menghela napas berat. "Lo bisa langsung temui Azkia."
"Terus lo?"
"Ada meeting bentar," jawab Ravin sambil membuang muka. "Sana!"
Griz mendengus mendengar nada pengusiran itu. Dia melepas sabuk pengaman kemudian mendekat. "Hati-hati." Kemudian dia mencium pipi lelaki itu.
Ravin hanya tersenyum samar. Dia memperhatikan Griz yang turun dari mobil kemudian melambaikan tangan. Dia melambaikan tangan sekilas lalu melajukan mobil. "Sorry...."
***
Tak... Tak... Tak....
Ada suara yang tidak biasa terdengar di lantai teratas. Azkia yang sebelumnya mengatur ulang jadwal bosnya, seketika berdiri. Dia merasa akan ada klien wanita yang memutuskan datang tanpa konfirmasi.
Terlihat seorang wanita mengenakan pinafore dress berwarna lilac dengan dalaman kemeja berwarna putih. Rambutnya digerai dan menarik sebagian ke sisi sebelah kanan. Wanita cantik, tapi senyumnya terlihat menyebalkan.
"Kenapa kaget?" Griz berdiri di depan Azkia. Dia mengedarkan pandang karena di bagian depan hanya terdapat satu meja. "Oke, berarti gue satu ruangan sama pacar gue!"
Azkia refleks menarik tangan Griz. "Mau ngapain?"
Griz menarik tangannya yang dipegang Azkia lalu meniupnya seolah menghilangkan debu. "Ravin belum ngasih tahu lo, ya, kalau gue mulai hari ini jadi asistennya?"
Mata Azkia membulat. "Lo nggak ngada-ngada, kan?"
"Ya udah kalau nggak percaya." Griz lantas berjalan masuk. Dia merasa ruangan Ravin lebih dingin daripada di luar. "Tolong, dong, suhu AC-nya benerin."
"Benerin sendiri!" Azkia menghentakkan kaki kemudian kembali ke meja kerjanya. Dia menutup wajah dengan kedua tangan. Kekacauan mulai datang.
Sedangkan di ruangan, Griz menyalakan laptop milik Ravin. "Ah! Udah gue tebak!" Dia menggeram melihat laptop itu dikunci. "Lo tahu password laptopnya Ravin?"
Azkia mengangkat wajah mendengar teriakan itu. "Enggak!" jawabnya ogah-ogahan. Menurutnya, Griz bertingkah seperti sedang di lapangan daripada di kantor.
Tring....
Telepon di meja Azkia berbunyi. Dia mengambil gagang telepon lalu mengatur nada suaranya. "Selamat pagi, dengan Azkia...."
"... dia sudah datang?"
Azkia terdiam, mendengar suara yang sudah dia hafal. "Sudah Pak Ravin," jawabnya tahu yang dimaksud adalah Griz.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...