Tak... Tak... Tak....
Suara jarum jam memenuhi kamar dengan beberapa barang yang masih berserakan. Seorang wanita duduk di tengah ranjang sambil bertopang dagu. Dia memperhatikan kamar tamu Ravin yang terasa nyaman. Sayangnya, tidak senyaman kamarnya dulu.
Griz bisa bertingkah seolah baik-baik saja di depan Ravin. Namun, saat malam tiba dia tidak bisa menutupi perasaan tidak nyaman itu. Andai bisa memilih dia ingin kembali ke rumah.
"Huh...." Griz mengembuskan napas sambil menyugar rambut ke belakang. Dia lalu berbaring terlentang sambil mendongak ke langit-langit kamar. Dia terbayang saat malam hari di rumahnya. Biasanya setelah pulang dia akan berendam dengan air hangat. Sekarang dia masih bisa berendam. Namun, tetap saja berbeda.
Drtt....
Ponsel Griz tiba-tiba bergetar. Dia menoleh, melihat benda persegi panjang yang tergeletak di dekat bantal itu. Tangannya menggapai benda itu dan melihat nomor baru yang menghubunginya. "Halo...," jawabnya ogah-ogahan.
"Griz...."
Seketika Griz terduduk. "Ma... mama?"
"Ini mama Griz!"
Jantung Griz berdegup lebih cepat. Bibirnya bergetar dan tiba-tiba kesulitan mengucapkan sesuatu.
"Gimana kabarmu?"
Tidak ada respons dari Griz. Dia terdiam dengan kepala tertunduk. Air matanya mulai menggenang, kemudian turun membasahi pipi. Napas Griz juga tercekat, hingga rasanya sampai di tenggorokan.
"Griz. Kamu denger mama?"
Tanpa sadar Griz mengangguk. Dia menutup mulut mencoba menahan isakan. Terakhir dia menangis di depan mamanya saat masih kecil. Sekarang dia tidak ingin mamanya tahu jika dia menangis. "Ba... baik."
"Syukurlah," jawab Soraya terdengar lega. "Kamu tinggal sama Artari, kan?"
"Enggak!" jawab Griz setelah kembali mendapat kesadarannya. "Dia transfer duit ke mama? Dia manfaatin mama?"
Di ujung sana Soraya tidak langsung menjawab. Dia menutup mulut dan sedikit menggigit tangannya. Dia berusaha keras agar tidak terisak.
"Jawab!" teriak Griz. Dia terdiam sambil mengatur napasnya yang memburu. Dia bahkan sampai bernapas dari mulut, karena dadanya begitu sesak. Seperti ada batuan besar yang menekan dada Griz.
"Kamu tinggal sama Artari, kan?" ulang mamanya.
"Enggak, Ma!" Griz mendongak, berusaha menghalau air mata yang hendak keluar. "Kenapa aku harus tinggal sama dia?"
Soraya mengedarkan pandang. Dia takut suaminya tiba-tiba muncul kemudian memarahinya. "Kamu harus kuasai Arvin!"
"Ha?" Griz langsung turun dari ranjang. "Apa maksudnya?"
"Kamu harus tinggal sama Artari."
"Kalian ngejual aku?" Kesadaran itu tiba-tiba menghantam Griz. Mamanya bersikeras agar dia tinggal bersama Artari. Di satu sisi dia mendapati fakta jika Artari mentransfer uang ke mamanya. "Kenapa nggak jawab?" tanya Griz dengan bibir bergetar.
Tut... Tut... Tut.... Soraya memutuskan sepihak.
"Ma! Mama!" Griz menjerit. Dia menekan tombol hijau, mencoba menghubungi nomor itu lagi.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif."
Griz mengembuskan napas sambil melempar ponsel ke ranjang. Dia bertolak pinggang dengan rahang mengeras. Mamanya menghindar, semakin meyakinkan praduga Griz.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...