TIE-40

2K 99 5
                                    

Mobil berhenti di basement apartemen. Ravin segera turun kemudian membukakan pintu untuk Griz. Tentu tindakan manis itu membuat Griz langsung tersenyum.

"Ngapain?" tanya Ravin kala mendapati Griz yang senyum-senyum sendiri.

Griz menggeleng. Dia melingkarkan tangan ke lengan Ravin lalu mendongak, menunjukkan senyumnya yang lebar.

Ravin menatap depan dengan senyum samar. Namun, tiba-tiba Griz menahan lengannya. Dia berhenti dan berbalik. "Apa lagi?"

"Emm. Gue capek," ujar Griz sambil tersenyum malu-malu. "Ternyata sakitnya kerasa lagi. Dia bagian sini." Tangan Griz menepuk bagian pinggulnya.

"Terus?"

Griz menggarakkan jari telunjuk, meminta Ravin membungkuk. Setelah itu dia menggerakkan kedua tangan seolah akan memeluk. "Ngerti?"

"Enggak!" Ravin melanjutkan langkah dengan senyum samar. Dia tidak bodoh dengan kode-kode seperti itu. Apalagi jika Griz yang melakukan.

"Sayang!" Griz mulai merengek.

Ravin berhenti lagi. Sekarang sudah larut malam dan dia ingin cepat tidur. Sepertinya dia harus mengalah lagi daripada buang-buang waktu. Ravin sedikit menurunkan tubuhnya, tapi tidak mengucapkan sepatah kata.

Melihat posisi itu, Griz segera mendekat dan naik ke gendongan. "Gini, dong!"

"Setelah ini bersih-bersih terus tidur," ujar Ravin. "Jangan lupa kasih salep kalau masih sakit. Tadi dikasih obat penghilang rasa sakit, kan?"

"Tapi kayaknya gue pengen ke dokter lagi," ujar Griz sambil menahan tawa. "Pengen tanya ada obat biar orang terus perhatian nggak?"

"Nggak akan ada!"

"Hahaha...."

Ravin terus melangkah dengan Griz berada di gendongan. Dia merasa ringan, seperti menjadi sosok Ravin yang baru. Apakah dia akan keluar dari kubangan masa lalu bersama Griz? Meski dia masih belum sepenuhnya yakin dengan hal itu. Meski ada rahasia yang belum juga dia ungkap.

"Vin...." Griz kembali bersuara setelah hening beberapa saat.

"Apa lagi?"

"Lo beneran nggak ada perasaan apapun ke gue?" Griz terpaksa menanyakan ini karena tidak bisa menebak lagi. Kadang Ravin sangat perhatian, seperti perhatian kepada sang kekasih. Kadang pula Ravin benar-benar tidak memiliki hati. "Sedikitpun nggak ada perasaan?"

Langkah Ravin semakin pelan. "Hidup gue kacau Griz dan seumur hidup gue berharap nggak pernah ngerasain kasih sayang."

"Jadi, nggak ada?"

"Belum tahu," jawab Ravin. "Kadang gue ngerasa seneng ada lo, tapi kadang sebaliknya. Tapi satu yang pasti...." Ravin menggantungkan kalimatnya.

Jantung Griz berdegup lebih cepat menanti kelanjutan kalimat itu. Tangannya yang berada di bawah leher Ravin tampak kaku. Dia sedang mempersiapkan hatinya mendengar kelanjutan Ravin. "Yang pasti apa?"

Ravin menarik napas panjang. "Kehadiran lo cukup bikin hidup gue nggak monoton."

Senyum Griz seketika mengembang. "Turunin!" Dia menepuk pundak Ravin.

"Nggak perlu."

"Turunin! Turunin sekarang!"

Ravin menggeleng pelan. Dia tahu Griz pasti meminta penjelasan lebih, karena itu dia sengaja menghindar. Ravin mempercepat langkah kemudian memencet tombol lift.

"Turunin, Sayang!" Griz memukul pundak Ravin. "Gue turun, nih!"

"Turun aja kalau pengen jatuh kayak tadi."

Take it EasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang