"Ma... maaf...." Roish mengucapkan itu dengan susah payah.
"Maaf?" tanya Ravin sambil mendekatkan telinga. "Oh, sekarang udah bisa ngomong maaf? Dulu, kan, nggak bisa."
Tangan Roish perlahan terangkat meminta anaknya itu mendekat. Sayangnya, Ravin bergerak mundur sambil menggeleng tegas. Tangan Roish kembali turun. Seiring dengan air matanya yang bergerak turun.
Ravin memandang pria yang berbaring lemas itu. Dia yakin, andai papanya masih sehat sudah pasti dia dipukuli karena ejekan barusan. Namun, sekarang papanya hanya mampu menatap dan bermaksud memeluknya.
"Jangan sakit-sakit!" ujar Ravin. "Mana Pak Roish yang selalu nyuruh buat kuat? Inget, waktu itu uang. Jangan buang-buang waktu!"
Hati Roish tertohok dengan kalimat itu. Dia terbayang ketika Ravin sakit dan dimanja oleh istrinya. Justru dia memarahi anaknya itu karena lemah. Padahal, sakit itu manusiawi. Merasakan sakit, berarti kita manusia.
"Jangan kayak gini." Ravin menggeleng dengan suara bergetar. "Aku baru aja memulai hidup baru, tapi harus balik lagi ke sini."
"Ra... vin!"
Ravin menyugar rambut ke belakang. Selama di pesawat, dia tidak ingin bertindak emosional. Dia ingin menggunakan otaknya daripada perasaannya. Namun sekarang, dia tidak bisa mengendalikan itu. "Kenapa papa kayak gini?"
Roish kaget mendengar teriakan anaknya. Dia memperhatikan lelaki yang hampir dua tahun ini tidak bertemu dengannya. Anaknya masih terlihat keren dengan aura yang terpancar. Sayangnya sekarang, Ravin seperti menahan tangis. "Papa... Banyak... Salah."
"Memang!" jawab Ravin cepat. "Papa emang banyak salah. Karena itu tebus semuanya. Terutama ke mama."
"Ya!"
"Secepat itu?" Ravin mendekat dan melihat ekspresi papanya yang tersiksa. Dia langsung teringat mamanya ketika sakit dengan ekspresi tersiksa seperti itu. Dia tersenyum samar. "Andai mama masih ada, pasti ngetawain papa."
Roish mengangguk pelan. Selama ini dia hidup tanpa ada yang memedulikan. Memang ada pelayan dan karyawan lain, tapi mereka peduli karena pekerjaan. Terlepas dari itu, Roish tahu jika dia terus digunjing.
Tidak ada lagi seseorang yang membuat Roish mau bertahan hidup. Dulu ketika masih ada Ravin, tanpa disadari dia ingin terus melihat anaknya itu berkembang. Meski dia berlebihan dan selalu menuntut. Setelah Ravin pergi, Roish benar-benar merasa sendiri.
"Nyesel?" tanya Ravin melihat Roish yang diam dengan wajah begitu sendu. "Baguslah. Penyesalan itu memang harus."
Roish mengenggam tangan Ravin. "Kamu mau maafin papa?"
Jantung Ravin berdegup lebih cepat. Dia menatap tangan papanya yang tampak lebih kecil. Selain itu ada sensasi aneh saat tangan itu menggenggamnya. Terlebih, dengan ekspresi memohon. "Tergantung papa serius atau enggak."
"Papa serius," jawab Roish dengan napas memburu. Dia menarik alat bantu pernapasan itu dan mencoba untuk bangun. "Jangan tinggalin papa. Selama ini papa kesulitan."
"Bukannya bisnis tetep jalan, ya? Sempat turun tapi akhirnya naik lagi, kan?" Ravin menaikkan satu alisnya. "Aku tahu vila mama udah jadi. Terus papa pengen bangun vila di deket pantai."
Roish menggenggam tangan Ravin semakin erat. "Jangan tinggalin papa, Vin."
"Aku nggak bisa!"
"Vin...." Rosih mendongak, menatap Ravin dengan memohon. "Huh... Huh...."
Ravin melihat papanya yang semakin ngos-ngosan, padahal lelaki itu hanya duduk dan berbicara. "Jangan buang tenaga papa."
"Vin...." Roish memposisikan tangan Ravin ke dadanya. "Papa...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...