Sorry banget. Hari Sabtu-Minggu kemarin lembur. Jadi lupa update..
------
Ravin baru melihat seorang wanita yang menyantap makanan dengan lahap bahkan hingga belepotan. Dia yakin, sebelumnya wanita itu pasti akan menjaga image dan memilih-milih makanan. Namun, keadaan membalikkan semuanya.
"Ah! Kenyang." Griz meletakkan gelas berisi lemon tea yang tersisa sedikit. Dia duduk bersandar lalu mengusap perut.
"Saya tahu apa yang menimpa keluargamu," ujar Ravin dengan suara pelan.
Raut Griz kembali sendu padahal dia tampak bahagia saat makan. Dia lalu membuang muka. "Terus Anda mau ngejek? Boleh aja." Dia menarik kacamata dari atas kepala dan memakainya.
Ravin sedikit sebal melihat gaya wanita di depannya. Memangnya apa yang mau dibanggakan Griz setelah semuanya hilang? "Terus apa rencanamu?"
"Saya harus menemui seseorang." Griz menatap Ravin. "Saya boleh pinjam beberapa uang? Tenang saja pasti saya bayar."
Tanpa menjawab, Ravin mengeluarkan beberapa lembar uang. "Nggak perlu diganti."
"Saya nggak mau punya utang budi." Griz menarik uang yang disodorkan ke arahnya. "Saya akan bayar semua makanan ini."
"Oke, terserah kamu." Ravin seketika berdiri dan berjalan menjauh.
Griz buru-buru berdiri dan berlari mengejar. "Saya harus ambil koper!"
Ravin menggerakkan tangan, melihat koper Griz yang sudah berada di samping mobilnya. "Silakan ambil sendiri."
"Ck!" Griz berdecak melihat kelakukan Ravin. Dia berjalan menuju mobil dan kembali menggeret kopernya. "Saya pergi."
Perhatian Ravin masih tertuju ke Griz. Wanita itu berbeda dengan wanita kemarin yang glamor dengan make up sempurna. Hanya satu yang masih sama, keras kepala Griz. Lihat saja, wanita itu bahkan tidak mengucapkan terima kasih.
Tanpa diketahui, Griz mencoba melangkah sambil menahan rasa perih di kakinya. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan orang lain. Terlebih kepada Ravin. Dia merasa malu karena sebelumnya bisa begitu percaya diri, tapi sekarang tidak lagi.
***
Taksi itu berhenti di sebuah rumah berpagar putih. Rumah itu terlihat rapi dan terawat. Semoga saja rumah itu tidak ditinggali oleh orang-orang jahat.
"Jadi turun nggak, Mbak?"
Griz tersentak kaget. Dia menyerahkan beberapa lembar ke sopir taksi kemudian turun dari mobil. Dia berdecak, saat sopir taksi itu tidak membantunya untuk menurunkan koper. "Sial! Ini pertama kalinya gue nurunin koper!"
Setelah menurunkan koper, Griz melangkah menuju gerbang. Dia menunduk, berharap melihat seseorang. Namun, rumah itu tampak sepi. "Gue nggak dijebak, kan ini?" gumamnya waspada. Griz mendongak, memperhatikan rumah berlantai dua itu sekali lagi.
"Siapa?"
Griz tersentak. Dia menunduk, melihat wanita berdaster melangkah ke arahnya. "Ah, bisa saya bertemu dengan pemilik rumah?"
"Dengan siapa?"
"Emm...." Griz bingung harus mengenalkan dirinya sebagai apa. Dia tidak pernah bertemu dengan pemilik rumah, tapi tiba-tiba langsung meminta bantuan. Sungguh, memalukan sekali. "Papa saya sahabat dari si pemilik rumah."
Wanita berdaster itu tampak tidak percaya. "Tunggu sini." Kemudian dia kembali ke dalam rumah.
Griz menggerakkan kaki dengan gelisah. Semua keputusan ada di depannya. Bisa jadi saat dia masuk ke rumah itu dia tidak akan pernah bisa keluar. Namun, bisa jadi itu tempat yang hangat untuknya. "Apa gue kabur aja?" gumamnya sambil bergerak mundur. "Ah enggak! Gue mau kabur ke mana lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...