"Blago darya!—Terima kasih!" Wanita yang mengenakan celana pendek dan kemeja over size garis-garis itu menerima roti berbentuk panjang. Dia keluar dari kafe kemudian mengedarkan pandang. Hingga perhatiannya tertuju ke toko bunga di seberang.
Tanpa pikir panjang, Griz menuju toko bunga itu. Dia membungkuk mencium aroma bunga mawar yang berjajar. Kemudian perhatiannya tertuju ke bunga tulip di sampingnya.
"Zdravei!—Hai!" Seorang wanita berambut kecokelatan menghampiri.
Griz terdiam, memperhatikan wanita bertubuh kurus dan bermata bulat di depannya. Wanita itu seusia mamanya, bahkan sekilas tampak mirip. Tanpa sadar mata Griz berkaca-kaca. "Ah. I want this!" Kemudian dia menunjuk bunga tulip putih itu.
Sambil menunggu bunga itu disiapkan, Griz mencoba untuk menenangkan diri. Cukup mengagetkan dia bisa melihat seseorang yang mirip dengan mamanya. Bagaimana kabar mama? Tiba-tiba perasaan Griz menjadi khawatir.
Drrttt....
Griz buru-buru menghilangkan rasa sesak yang tiba-tiba datang. Dia merogoh tas dan melihat panggilan masuk. Saat itulah dia melihat si pemilik bunga mendekatinya.
"Ya, Sayang." Griz menjawab telepon sambil mengeluarkan uang. Dia menerima bunga itu kemudian tersenyum.
"Di mana?"
"Kamu udah pulang?" Griz mendekap kantong roti dan bunga lalu mempercepat langkah. "Aku jalan-jalan bentar."
"Perlu dijemput?"
"Enggak! Bentar lagi aku sampai kok." Setelah mengucapkan itu Griz memutuskan sambungan. Dia mempercepat langkah menuju flat yang jaraknya sekitar empat ratus meter.
Setahun telah berlalu. Lama-lama Griz betah tinggal di negara asing itu. Sudah tidak ada lagi orang yang menyakitinya. Meski awal-awal tinggal di negara orang lain terasa susah.
Griz tidak memiliki siapapun selain Ravin. Bisa dibilang, dia benar-benar menggantungkan hidupnya dengan lelaki itu. Ketika Ravin sibuk bekerja hingga tidak pulang, saat itulah Griz benar-benar merasa kesepian.
Ada perasaan rindu ingin kembali ke Indonesia. Namun, dia tidak memiliki tujuan di sana. Terbersit di pikiran, ingin hidup seperti dulu. Di mana hampir setiap hari dia mengikuti party dan bersenang-senang. Namun sekarang, untuk menghambur-hamburkan uang, butuh pikir panjang.
Bip....
Griz buru-buru melepas sandal dan bergegas menuju kamar. "Sayang!"
Ravin mengangkat wajah melihat Griz yang membawa kotak roti dan sebuket bunga tulip. "Ada perayaan apa?"
"Ah, ini?" Griz menatap dua benda dalam dekapan. "Nggak apa-apa," jawabnya sambil berlalu. Dia khawatir Ravin marah karena membeli bunga bukan kebutuhan lain.
Perlahan Ravin bangkit dan mengikuti Griz ke dapur. Wanita itu berdiri memunggunginya dengan bahu naik turun. "Aku nggak marah!"
"Ha?" Griz berbalik dengan wajah kaget. "Aku...."
"... aku nggak marah," potong Ravin seraya mendekat. Dia melirik buket bunga tulip yang tergeletak. Kemudian menatap wanita berambut panjang dengan dirty blonde itu. Griz sudah seperti warga lokal dengan kulit putih dan gaya rambutnya.
Griz maju selangkah dan memeluk Ravin. "Jadi, nggak marah?"
"Enggak!" Ravin mengusap puncak kepala Griz. "Aku sadar udah nggak ngasih kamu bunga." Dia menarik hidung Griz dengan gemas.
"Obicham te—aku mencintaimu!"
Ravin bergerak menjauh. "Iya, tahu!"
"Ish!" Griz menghentakkan kaki melihat Ravin yang tidak bisa romantis itu. "Ravin!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...