Taksi yang ditumpangi Griz berhenti di depan lobi. Dia keluar sambil membawa belanjaan dan kantong berisi makanan. "Ck! Repot, banget!"
Griz membawa kantong makanan di tangan kanan sedangkan tangan kirinya membawa dua kantong belanjaan. Dia mempercepat langkah menuju lift, kemudian memencet tombol. Sambil menunggu, Griz menyandarkan kepala.
Tring.... Pintu lift terbuka.
Griz mengangkat wajah saat melihat seseorang memakai sepatu berwarna hitam. Dia mengernyit, melihat Ravin berdiri di sudut dengan satu tangan dimasukkan ke saku. "Sayang...."
Ravin menoleh sekilas.
"Lo mau ke mana?" Griz memperhatikan penampilan Ravin masih yang rapi.
Lelaki itu bergerak menjauh.
Lift sampai di basement. Namun, Ravin menekan tombol ke atas.
"Lo nggak jadi pergi?"
"Tiba-tiba nggak mood," jawab Ravin sambil mengangkat bahu.
Griz tersenyum kecil, merasa jika Ravin mengurungkan niatannya karena kedatangannya. "Gue bawa makanan!" Dia mengangkat kantong yang dibawa.
Ravin melihat logo salah satu restoran cepat saji yang paling terkenal. "Gue nggak minta."
"Tapi gue pengen makan sama lo." Griz melingkarkan tangan ke lengan Ravin. Setelah itu dia mendongak dengan senyum tertahan. "Makan makan bareng, ya!"
Tidak ada respons. Ravin menatap panel lift yang terus bergerak naik. Setelah itu pintu terbuka dan dia berjalan lebih dulu, bersama Griz yang masih menempel seperti koala. "Lepas!"
Griz melepaskan pegangannya, masuk lebih dulu lantas berlari menuju dapur. Saat itulah Ravin melihat Griz membawa dua kantong belanjaan. Ravin geleng-geleng, padahal kondisi keuangan Griz belum membaik tapi wanita itu terus berbelanja.
"Lo mau dada ayam atau paha?" tanya Griz setelah memindahkan makanan di atas meja. Dia mengambil minuman dari kulkas dan meletakkan di atas meja. "Mau dibuatin kopi?"
Ravin mendekat dan melirik makanan yang tersaji. "Habis belanja?"
Perhatian Griz seketika tertuju ke dua kantong belanjaan yang tergeletak di atas meja. Dia duduk di depan Ravin lalu menyangga dagu dengan kedua tangan. "Hmm...."
Ravin beranjak mencuci tangan kemudian mengambil cangkir. "Mau teh?"
"Enggak!" tolak Griz sambil menelungkupkan kepala di atas meja. "Tabungan gue jadi terkuras."
"Salah sendiri."
Griz seketika terduduk dan menunjuk Ravin. "Lo juga pernah langsung booking restoran. Lebih parah siapa?"
Ravin tampak malas karena diingatkan dengan hal itu. Dia duduk di depan Griz sambil menyeruput kopinya. Barulah setelah itu dia mengambil dada ayam dan melahapnya. "Terus lo nyesel? Jual lagi aja."
"Maleslah...." Griz mengambil potongan paha dan melahapnya. Dia menatap Ravin yang memakan dan tidak meliriknya sama sekali itu. "Gue beneran boleh, kan, tinggal di sini?"
Barulah Ravin mengangkat wajah. Dia memiringkan kepala mendengar Griz seperti yang meminta izin. Padahal, sebelumnya wanita itu beberapa kali tinggal di apartemennya. "Kali ini apa?"
Griz terdiam, enggan memberi tahu antara dirinya dan Arvin. Meski sebenarnya itu hal bagus, siapa tahu bisa memancing perasaan Ravin. "Gue pengen cari apartemen. Lo nggak mau bantuin gue?"
"Mau."
"Tumben banget!" Griz menutup mulut. Dia seketika beranjak kemudian mengangkup pipi Ravin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...