Lelaki berkaus tanpa lengan itu terbangun. Refleks dia menatap ke arah jendela dan melihat langit masih gelap. Setelah itu dia melihat jam kecil yang bersandar di dekat lampu tidur, pukul lima lebih dua puluh menit.
Ravin perlahan turun dari ranjang. Dia berjalan menuju kamar mandi, tapi langkahnya terhenti. Dia bergerak mundur dan melihat seseorang yang meringkuk di atas sofa. Ravin mengembuskan napas, merasa jika Griz bekerja semalaman.
"Griz...." Ravin bermaksud membangunkan. Dia mendekat dan melihat wanita itu tertidur pulas.
Ravin membungkuk sambil tangannya terulur. Saat hendak menyentuh lengan Griz, dia berhenti. Ravin terdiam, merasa jika Griz terlihat begitu lelah. Akhirnya dia mengurungkan niatannya. Sayangnya, dia tidak beranjak dari posisinya.
Diam-diam Ravin mengamati wajah Griz. Wanita itu memang cantik dengan wajah berbentuk oval agak kecil. Bulu mata Griz terlihat lentik. Belum lagi bagian alis yang runcing. Ravin terbayang saat bulu mata itu menukik ketika sedang sebal. Atau mata cokelat wanita itu yang semakin membulat.
Ravin berjongkok dan mengamati Griz lebih dalam. Perhatiannya tertuju ke bibir yang mungil tapi penuh itu. Bibir itu terlihat imut, cocok dengan wajah Griz yang kecil. Sekarang, bibir itu terlihat kering. Entah karena kurang cairan atau memang itu efek samping karena Griz masih mengenakan lisptick.
Ibu jari Ravin bergerak hingga menyentuh bagian bibir bawah itu. Dia mengusapnya begitu pelan, tidak ingin membuat si pemilik terbangun dan menuduhnya macam-macam. Ravin terlihat lega, saat tidak ada pergerakan dari Griz. Kemudian dia kembali mengusap bibir itu.
Tiba-tiba Ravin ingat saat mencium Griz dan esoknya menjadi mala petaka. Malam itu, dia tidak bisa berpikir jernih. Satu yang ada di benaknya, dia hanya ingin mencium Griz. Terlebih, wanita itu memberi sinyal jika akan menciumnya juga. Akhirnya Ravin memberanikan mencium dulu dan dibalas oleh wanita itu. Satu yang tidak bisa dia tebak, esok harinya Griz mengklaim hubungan mereka.
"Harusnya gue nggak pernah kasih akses buat wanita gila kayak lo," ujar Ravin masih menatap Griz yang tertidur.
Sekarang Ravin tidak tahu ke depannya akan seperti apa. Dia juga tidak bisa menebak bagaimana. Namun satu harapannya, semoga tidak ada yang tersakiti.
"Em...." Griz tiba-tiba bergerak lalu menggerakkan kepalanya yang terasa berat.
Ravin seketika berdiri dan buru-buru berbalik. "Bangun! Udah siang!" teriaknya sambil berjalan menuju kamar mandi.
Tubuh Griz seketika tersentak. Dia mengucek mata lalu mengedarkan pandang. Dia mengernyit melihat ruangan yang dikelilingi dengan lemari besar. Kemudian kesadaran mulai menghampirinya.
"Ah! Nggak percaya gue ketiduran di sini." Griz bangkit sambil memijit pundaknya yang terasa nyeri.
Pandangan Griz kemudian tertuju ke beberapa baju yang masih berserakan. Setelah itu dia melihat tumpukan paket yang akan dia kirim. "Ah! Ponsel gue!" Griz turun dari sofa dan mengambil ponsel yang tergeletak.
Griz tersenyum melihat beberapa pesan masuk yang menanyakan barang yang dia posting. Dia melihat baju yang tersisa dan mulai membalas pesan itu. Sambil menunggu konfirmasi dari pembeli, Griz mengecek ulang pesan-pesan yang lain.
"Semalem sampai jam berapa?" Ravin keluar dengan handuk kecil melingkar di leher.
"Lupa. Pokoknya gue ngerasa capek."
Ravin melihat kantong berwarna cokelat tidak jauh dari Griz. "Terus nanti lo kirim?"
Griz berbalik dengan senyum cerah. "Ya. Udah gue pisah-pisahin mereka mau pakai ojek online atau kurir biasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...