TIE-56

1.7K 81 2
                                    

Mobil bak terbuka itu berbelok ke sebuah rumah dengan halaman yang dipenuhi dengan batu kerikil. Bangunan rumah itu masih bangunan tua. Memiliki banyak jendela di bagian depan dan sisinya. Sedangkan bagian teras depan, terdapat tembok setinggi pinggul orang dewasa yang bisa digunakan untuk duduk-duduk menikmati waktu sore.

"Nggak apa-apa, kan, kita tinggal di sini?" Artari menatap Arvin yang belum bersuara.

Arvin terdiam. Rumah di depan mengingatkannya dengan siaran televisi lama. Di mana sebuah keluarga dengan anak yang berlarian di halaman. Sedangkan orangtuanya duduk berdampingan sambil menyeduh teh.

"Arvin...."

"Ya, Ma!" Arvin tergagap mendengar panggilan itu. Dia lalu menatap wanita yang duduk di sampingnya. "Nggak apa-apa, Ma."

Artari lega mendengarnya. Dia turun dari mobil kemudian melangkah ke halaman penuh kerikil itu. Lantas dia mendongak, melihat pohon mangga yang telah berbuah. "Kita dapet hadiah, Vin."

Arvin turun dari mobil dan mendongak. Benar, pohon mangga itu telah berbuah dan tinggal dipetik. "Nanti sore aku ambil."

"Ya...." Artari melanjutkan langkah, membuka rumah yang telah menjadi miliknya itu.

Dua orang itu memilih tinggal ke Bandung. Mereka sepakat untuk mencari tempat yang tidak terlalu bising. Selain bagus untuk menenangkan pikiran, mereka benar-benar ingin terhindar dari orang-orang yang pernah ada di masa lalu.

Artari mengembalikan semuanya yang telah diberikan Roish. Arvin telah menjual bisnis game-nya. Mereka pergi hanya bermodalkan uang tabungan yang tidak seberapa. Namun, rasanya seperti pergi ke suatu tempat yang sudah lama diimpikan.

"Kita mulai semuanya dari sini, Vin." Artari berbalik menatap anaknya yang sedang menurunkan barang-barang itu. "Maaf, mama terlalu lama."

"Nggak masalah, Ma!" teriak Arvin. Dia kecewa saat tahu mamanya juga berbuat jahat. Namun, dia tidak mau terlalu mempermasalahkan itu. Selama mamanya mau berubah, dia akan terus mendampingi.

Arvin juga mencoba memahami apa yang terjadi saat itu. Mamanya pasti juga berada di pilihan sulit. Sekarang, mereka bisa mengambil sebuah keputusan besar dan memulai hidup tanpa dendam.

"Rasanya melegakan," gumam Artari sambil menghela napas panjang. Bertahun-tahun tidak bisa terlepas dari Roish, sekarang dia merasa ini adalah kebebasannya.

***

Beberapa orang pagi ini dibuat heboh saat mengetahui Ravin akan menjual seluruh asetnya. Berita itu sampai terdengar di telinga Farizan dan juga Roish. Dua orang itu sama-sama tidak menyangka dengan keputusan Ravin.

Farizan sebal karena itu artinya dia tidak lagi memiliki target yang kuat. Dia tidak mungkin menjadikan Ravin partner untuk mengalahkan Roish. Sedangkan Roish, jelas marah dengan keputusan sepihak anaknya itu.

Brak....

Di dalam ruangan, Roish mendorong kursi kerjanya. Dia tidak habis pikir dengan Ravin. Bisa-bisanya anaknya itu menjual di saat bisnis sedang bagus. Apa anaknya itu tidak mau membangun bisnis yang lebih besar lagi?

"Marah?" Farizan membuka pintu ruangan Roish. Dia menatap temannya yang berdiri dengan napas memburu itu. "Harusnya kamu senang nggak ada pesaing."

Roish menunjuk Farizan. "Aku nggak pernah anggap Ravin pesaing."

"Partner?" tanya Farizan tidak yakin. "Dia nggak anggap kamu partner. Waktu kamu ngajak kerja sama, dia cuma ikutin kamu. Kayak balon yang terus terisi udara. Suatu saat nanti bakal meledak."

Prang....

Kali ini Rosih melempar vas bunga ke Farizan. "Kamu yang mempengaruhi Ravin? Pakai anakmu itu?"

Take it EasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang