Ravin terdiam, saat perhatiannya tertuju ke mata Griz yang memerah. Di bagian bawah mata terlihat lebih mengkilat daripada area lain. Kemudian perhatiannya tertuju ke senyum Griz yang perlahan memudar itu.
"Udah, kan?" Griz segera memakai lagi kacamatanya. Dia memaksakan tersenyum, tapi matanya terasa panas. Dia mengembuskan napas kemudian memilih menatap ke arah lain.
Ternyata, Ravin masih memperhatikan Griz. "Gue nggak pernah ngejek cewek yang mau nangis."
Tidak ada respons dari Griz. Dia tetap membuang muka. Mana mungkin dia percaya Ravin begitu saja. Mereka baru mengenal dan Griz tidak ingin mudah menunjukkan kesedihannya.
"Silakan...." Seorang pelayan datang dan meletakkan hidangan penutup.
Griz seketika menghadap ke meja kemudian melanjutkan memakan steak. Setelah itu dia menyesap minumannya dan berganti ke pudding berukuran kecil. Dia melahapnya dan merasakan rasa manis dan asam yang bercampur menjadi satu. Tanpa sadar senyumnya terukir. "Bener kata orang, good food good mood."
"Mau nambah?"
Griz mengangguk. "Gue jarang suka pudding kayak gini. Biasanya gue pilih-pilih makanan."
"Nggak percaya." Ravin merasa, Griz sebenarnya banyak makan. Wanita itu saja bahkan pernah terbangun tengah malam karena kelaparan. Griz juga selalu menghabiskan makanannya saat makan bersama Ravin.
Pudding kedua tersaji di hadapan Griz. Dia tersenyum melihat warna pink dan putih yang menyatu, membentuk sebuah gradasi. "Mau nyoba?" Dia memotong pudding itu kemudian mengulurkan ke Ravin.
Ravin bergerak mundur dengan satu tangan mendorong tangan Griz. "Gue bisa pesen sendiri!"
"Ish!" Griz menyantap pudding itu sambil tersenyum mengejek.
Suasana kembali terasa hening. Restoran terlalu besar hanya ditempati oleh dua orang. Apalagi mereka tidak begitu akur. Jika saja mereka sepasang kekasih yang saling mencintai, jelas suasananya tidak akan seperti itu. Pasti mereka tersenyum dengan penuh suka cita. Bahkan saat Griz menyuapi Ravin, lelaki itu pasti akan mau.
Griz tiba-tiba tersenyum membayangkan adegan romantis. Setelah itu dia menatap Ravin yang ternyata sedang bermain ponsel. "Ada cewek cantik kayak gini dan lo malah sibuk sama ponsel?"
"Gue udah cukup boros, jadi gue harus kerja."
"Perhitungan banget!" Griz mencibir. "Dulu waktu gue banyak duit nggak kayak gitu. Gue bisa ngelakuin apapun yang gue suka."
"Gue beda sama lo."
Kalimat itu entah kenapa menohok hati Griz. Dia menatap Ravin, kening lelaki itu mengernyit. Dia yakin, Ravin sekarang sedang memeriksa pekerjaannya. "Lo bener."
"Apanya?" tanya Ravin tanpa menoleh.
"Ya lo bener. Gue terlalu foya-foya," ujar Griz. "Gue nggak kayak lo yang kerja keras. Gue nggak kayak lo yang bener-bener dihormati. Gue emang payah."
Seketika perhatian Ravin teralih lalu meletakkan ponsel. "Lagi sensitif?"
Griz mengangkat bahu. Dia tidak tahu mengapa mood-nya kembali buruk. "Udahlah jangan dibahas," ujarnya sambil berdiri. "Gue harus balik."
Ravin ikut berdiri sambil mengantongi ponsel. Tanpa suara dia melangkah lebih dulu. "Lo bisa jadi diri lo sendiri. Itu yang nggak gue miliki."
"Ha?" Griz kaget dengan suara yang terdengar tiba-tiba itu. Dia mempercepat langkah hingga sejajar dengan Ravin. "Lo tadi ngomong apa?"
"Nggak bisa gue ulang."
Griz menatap Ravin dengan pandangan penuh selidik. Dia geleng-geleng karena lelaki itu tidak bisa ditebak. "Aneh lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...