Lelaki yang duduk di balik meja kayu itu mulai kehilangan konsentrasi. Dia mengucek mata beberapa kali lalu kembali menatap laptop. Sayangnya, pandangannya tetap terasa buram.
"Hoam...." Ravin mendongak, melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul satu dini hari. Dia beranjak dan berjalan menuju kamar. Saat itulah dia sadar, di dalam masih ada Griz. Ravin seketika bergerak mundur dan memilih ke sofa.
Kantuk Ravin semakin terasa dan dia tidak bisa menahannya lagi. Dia meletakkan bantal sofa di ujung kemudian berbaring. Setelah itu dia mengambil bantal sofa lagi dan dia letakkan di antara lutut. Kemudian dia berbaring miring.
"Hoam...." Di dalam kamar, Griz juga mulai mengantuk.
Pandangan Griz tertuju ke beberapa paket baju. Kemudian dia melirik beberapa pakaian yang terdapat selembar kertas di atasnya. Masih ada beberapa pakaian yang belum dia kemas, tapi dia terlalu lelah.
Akhirnya, Griz kalah dengan rasa kantuknya. Dia berjalan keluar dan hendak berpindah ke kamar tamu. Sayangnya, dia mendengar dengkuran seseorang.
"Ravin...." Griz menatap ke sofa dan melihat kaki seseorang. Dia mendekat dan melihat Ravin yang tertidur dengan posisi miring.
Griz kembali ke kamar Ravin dan mengambil selimut, setelah itu kembali ke ruang tengah. "Kenapa nggak tidur di kamar? Segitu takutnya?" gumamnya sambil menyelimuti Ravin.
"Vin...." Griz mengguncang pundak Ravin, tapi tidak ada tanggapan.
Griz duduk di lantai, memperhatikan wajah tampan lelaki itu. Tangannya terasa gatal ingin menyentuh setiap inci wajah Ravin. Tahu-tahu, jari telunjuk Griz sudah bergerak ke hidung mancung di depannya.
"Dari awal gue ngerasa kalau lo itu beda," gumam Griz. "Lo nggak mudah didekati, makanya gue tertarik sama lo."
Ingatan Griz berkelana saat dia melihat Ravin meeting di salah satu restoran. Lelaki itu terlihat keren saat menjelaskan. Kemudian pertemuan kedua saat di basement. Saat itu Griz sebal karena ada mobil yang lebih keren di samping mobilnya. Tidak disangka itu adalah Ravin. Griz ingat, saat itu Ravin hanya menatapnya tajam.
"Mungkin gue terkesan cewek nggak tahu malu, tapi perlu lo tahu kalau gue tertarik sama sesuatu harus gue dapetin!" ujar Griz. "Tapi dapetin lo nggak semudah yang gue bayangin. Lo selalu nolak gue."
Ibu jari Griz berhenti di bibir bawah Ravin. Dia mengusap bibir itu sambil tersenyum. Kemudian dia mendekat dan mencium bibir itu. Setelahnya dia mencium kening. "Good night."
Griz perlahan berdiri dan melihat Ravin yang masih memejamkan mata. Dia berbalik dan berjalan menuju kamar tamu. Dia tidak mengetahui, jika sepasang mata itu sekarang terbuka.
Ravin bergerak dan melihat selimut yang menutupi tubuhnya. Setelah itu dia terduduk dan menatap kamar tamu. "Ck!" Ravin mengusap bibirnya yang tadi dicium Griz.
"Lo nggak sadar kalau gue kebangun?" gumam Ravin. Kantuknya mendadak hilang setelah ada seseorang yang menyentuh wajahnya. Ravin tipe orang yang gampang terbangun, dia ingin memarahi Griz tapi akhirnya memilih pura-pura tidur.
***
Ruang tengah apartemen tampak sepi. Ravin melongok, memastikan area dapur juga sepi. Setelah itu dia berjalan pelan menuju pintu. Dia memakai sepatu dengan cepat sebelum Griz tiba-tiba muncul.
Bip....
Ravin menatap ke pintu yang tiba-tiba terbuka. Seorang wanita dengan hoodie kebesaran berjalan masuk sambil membawa kantong makanan. Ravin seketika berdiri tegak dan memasang wajah dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...