"Tunggu! Gue jadi sopir lo? Gue pacar lo, Ravin!"
Ravin tidak merespons. Dia melipat kedua tangan di depan dada sambil memiringkan kepala. Dia pusing, ditambah Griz tiba-tiba datang dan membuat kekacauan. Lebih baik dia pulang untuk mengatasi rasa pusingnya itu.
Pandangan Griz masih tertuju ke Ravin, mendapati lelaki itu bersiap tidur. Kemudian dia menatap depan dan memegang kemudi. Beberapa hari ini memang dia tidak mengemudi, tapi bukan berarti juga dia harus menjadi seorang sopir.
"Nggak mau?" tanya Ravin kala mobil tidak kunjung bergerak.
Griz menghela napas berat. Dia mulai mengendarai mobil Ravin dengan pelan. "Ini pertama kalinya gue nyetir buat seseorang."
"Nggak mau? Lo bisa turun!" Ravin jengah mendengar komentar Griz. "Lagian ngapain dateng ke kantor?"
"Ya gue bosen di rumah orang. Gue coba cari kesibukan." Griz menjawab dengan suara pelan. Ini pertama kalinya dia tidak percaya diri saat memberitahukan kesibukannya.
Ravin membuka mata mendengar suara pelan Griz. Dia memajukan tubuh, kemudian menoleh ke Griz dari samping. "Lo belum dapet kerja?"
"Menurut lo cari kerja itu gampang?" tanya Griz dengan nada meninggi. "Gue baca berita, semuanya pada ngomongin bokap gue. Di saat kayak ini pasti nama bokap gue bakal dibawa-bawa ke gue."
"Lo bener." Ravin kembali bersandar. Dia menatap ke depan dengan pandangan menerawang. "Kalau gitu lo jadi sopir gue aja!"
Bola mata Griz membulat. Dia menambah laju kendaraan kemudian menginjak rem secara mendadak. "Enak aja lo ngomong!"
Ravin terdorong ke depan karena tindakan barusan. Dia kembali duduk dan mengedarkan pandang, beruntung tidak ada pengendara yang marah karena ulah Griz barusan. "Loh kenapa? Lo butuh kerjaan, kan?"
Griz menggeleng tegas. Meski dia butuh pekerjaan, dia tidak mau sembarangan bekerja. "Gue pacar lo, Vin. Cariin kerja gitu. Jadi asisten lo, mungkin."
"Udah ada Azkia."
"Oh. Asisten lo yang nyebelin itu?" Griz terbayang wanita yang beberapa kali dia temui. "Kok lo betah sama dia? Dia kelihatan kaku."
Ravin menganggap Griz sok tahu. "Dia itu profesional. Gue yakin lo belum tentu bisa nyaingin dia."
"Kata siapa?" tanya Griz cepat. Seorang Griz paling tidak terima jika dibanding-bandingkan, apalagi dengan orang yang tidak dia sukai. "Gue bisa lebih baik dari dia. Yah udah, angkat gue jadi asisten lo."
"Jangan nyari kesempatan." Ravin menatap Griz dari spion tengah.
Griz melirik spion tengah dan melihat ekspresi menyebalkan Ravin. Dia gagal membujuk. "Gue nggak mau jadi sopir lo."
"Ya udah. Sopir gue sebenernya masih ada," jawab Ravin acuh tak acuh.
Refleks Griz mencengkeram kemudi. "Pamer aja terus! Pamer!"
"Jangan banyak omong. Bikin makin pusing." Setelah mengucapkan itu Ravin kembali memejamkan mata.
Diam-diam Griz melirik spion tengah. Dia tersenyum samar karena perdebatannya barusan. Bukan kah ini kemajuan dia bisa satu mobil dengan Ravin? Padahal lelaki itu benar-benar antipati kepadanya.
***
Sampai di apartemen, Ravin bergegas menuju kamar. Dia mengunci pintu kemudian berbaring di ranjang. Sedangkan Griz ditinggalkan begitu saja.
Griz duduk di sofa ruang tengah. Dia ingat saat ciuman pertamanya dengan Ravin semalam. Karena ciuman itu, dia bisa mengklaim Ravin sebagai pacarnya. Sebenarnya itu cara yang cukup payah, tapi Griz membiarkan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...