TIE-41

1.7K 84 6
                                    

Aroma nasi goreng telur orak-arik tercium di dapur rumah bernuansa putih itu. Seorang lelaki yang terlihat segar itu turun dari tangga. Dia mempercepat langkah setelah tercium harumnya makanan dari dapur. "Pagi, Ma."

Artari berbalik, menatap Arvin yang mengenakan setelan kantor berwarna hijau gelap. Dia meletakkan secangkir kopi ke hadapan anaknya, lantas mengambil secangkir teh. Dia duduk di hadapan Arvin sambil menyeruput tehnya.

"Griz beneran nggak balik, ya, Ma?" tanya Arvin sambil sibuk makan.

"Kamu pengen dia balik?"

Arvin mengangkat wajah, melihat ekspresi santai mamanya. "Mama tahu dia tinggal di mana?" tanyanya hati-hati. "Ma. Dia...."

"Mama nggak tahu dia tinggal di mana," potong Artari. "Tapi mama tahu setidaknya dia masih berada di dekat kita."

"Hmm...." Arvin kembali menunduk menatap nasi gorengnya. Saat hendak menyuap, ada sesuatu yang tiba-tiba mengusiknya. "Mama nggak khawatir? Kan, dia dititipin ke mama."

"Khawatir."

"Tapi kelihatannya mama santai."

Artari tersenyum samar. Dia mengambil sepiring nasi goreng dan melahapnya, tanpa menjawab pertanyaan Arvin. Sedangkan anaknya, terus menatap penuh selidik.

"Ada yang mama sembunyiin?" tanya Arvin pelan. "Kenapa Griz kok dititipin ke mana? Kenapa mama kok santai padahal anak yang dititipin udah nggak tinggal sama kita?"

"Griz udah dewasa," jawab Artari. "Biarin dia seneng-seneng sebentar. Sebelum dia nikah sama kamu."

Arvin mendorong sepiring nasi goreng yang tidak lagi membuatnya tertarik itu. "Dia tahu kalau udah dijodohin?"

"Belum," jawab Artari.

"Ma. Apa kita nggak jahat ke dia?"

Artari menatap anaknya yang banyak tanya itu. "Kitapun pernah dijahati, Arvin."

"Sama Griz?" Tubuh Arvin seketika menegang.

"Udahlah lupain." Artari memilih mengakhiri pembicaraan dengan beranjak. Dia juga meninggalkan sepiring nasi goreng dan teh yang masih tersisa banyak itu.

Diam-diam, Arvin memandang mamanya penuh tanya. Dia kembali melihat mamanya yang misterius. "Apa yang disembunyiin, Ma?"

***

Pukul tujuh lebih, Griz baru selesai mandi. Dia mengambil dress sepanjang atas lutut dengan motif garis vertikal berwarna abu-abu. Setelah itu dia mengatur rambutnya agar lebih bervolume.

"Gue harus tampil cantik di depan pacar gue," gumam Griz seraya mengambil lipstick berwarna merah muda. Dia sengaja tidak memilih merah menyala, malas jika Ravin ternyata tidak menyukai penampilannya.

Beberapa saat kemudian, Griz keluar kamar. Dia menoleh ke pintu di sampingnya yang telah terbuka. Pandangannya seketika tertuju ke arah dapur. Dari kejauhan dia melihat seorang lelaki yang mengenakan kemeja krem berdiri memunggunginya.

Griz perlahan mendekat setelah itu memeluknya dari belakang. Kenyataan ternyata tidak sebanding dengan harapan. Justru yang Griz rasakan punggung tangannya terasa terbakar. "Aaaa!" Dia menjerit tapi tetap mengeratkan pelukan.

Ravin kaget saat tiba-tiba ada yang memeluknya. Tangan yang sedang membawa secangkir kopi sampai bergerak dan ada beberapa cairan yang tumpah. Setelah itu dia mendapat pelukan yang sangat erat. "Salah sendiri ngagetin!"

"Ish! Bukannya dihibur!" Griz melepas pelukan dan melihat punggung tangannya yang mengkilat. Dia membasuh telapak tangan dengan air setelah itu mengusapnya dengan tisu. "Kita ke kantor bareng?"

Take it EasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang