Tidak biasanya Ravin sakit seperti sekarang. Dia sudah meminum obat tapi tidak ada reaksinya. Semakin siang, tubuhnya semakin menggigil dan terasa lelah. Dentuman di kepalanya tidak usah ditanya, semakin terasa sakit.
"Pak Ravin...." Azkia masuk ke ruangan bosnya. Dia melihat Ravin duduk bersandar sambil memeluk tubuhnya sendiri.
Azkia mendekat, melihat keringat yang semakin bercucuran. Dia mengeluarkan tisu dari saku jasnya kemudian berdiri di samping Ravin. "Maaf, Pak." Lalu mulai mengusap keringat di kening Ravin.
Ravin tersentak merasakan tepukkan pelan di keningnya. Refleks dia membuka mata dan melihat wajah Azkia. Ravin memegang tangan Azkia dan mendorongnya. "Saya...." Suara Ravin tercekat di tenggorokan. "Uhuk. Baik."
"Tapi kondisi Bapak belum membaik." Azkia mengusap peluh yang kembali menetes. "Bapak istirahat di rumah saja, ya!"
Ravin mengusap tengkuk sambil duduk tegak. Setelah itu dia mengambil berkas di depannya. Tulisan bertinta hitam itu tampak seperti garis lurus di matanya.
"Mau saya buatkan teh lagi?"
"Hmm...."
Azkia segera membuatkan teh. Sejak tadi, dia tak henti mengecek kondisi bosnya. Ravin lebih banyak tidur daripada bekerja. Saat Ravin menyadari kehadirannya, lelaki itu pasti akan memaksakan diri.
"Ini tehnya, Pak." Azkia kembali dengan cangkir berwarna putih.
"Obat yang tadi masih ada?"
"Pak. Apa tidak sebaiknya ke dokter?"
Ravin menggeleng pelan. Dia enggan ke dokter kemudian mendengar penjelasan jika harus banyak istirahat. Apalagi jika dia diminta untuk rawat inap. Ravin tidak suka cara seperti itu. Saat sakit dia akan berusaha melawan. Karena itu dia tetap bekerja. Sayangnya, kali ini dia sedikit kalah dengan rasa sakitnya dan tidak ingin manja karena hal itu.
"Silakan, Pak." Azkia mengulurkan secangkir teh itu ke Ravin.
"Hem...." Ravin dengan enggan beranjak dari posisi bersandarnya. Dia menerima secangkir teh itu dan menyeruput isinya pelan. Setelah itu dia meletakkan di atas meja dan kembali bersandar.
Azkia melihat wajah Ravin semakin memerah. Bahkan keringat dingin itu tidak hentinya keluar. "Makan siang dulu, ya, Pak."
"Biarkan saya tidur sebentar." Ravin melipat kedua tangan di depan dada dan memejamkan mata.
Azkia bergerak mundur kemudian keluar dari ruangan. Dia mengambil ponsel, memesan roti untuk bosnya. Selain itu dia juga memesan beberapa susu. Dia tahu, saat sakit Ravin sangat menghindari kopi.
Beberapa saat kemudian, Azkia kembali mengecek keadaan Ravin. Dia mengintip dari celah pintu dan mendapati bosnya itu terlelap.
Tring.... Tiba-tiba ponsel Ravin berbunyi.
Azkia segera masuk, hendak menolak panggilan itu agar suaranya tidak mengganggu tidur Ravin. Saat melihat tulisan nama si penelepon, Azkia mengernyit bingung.
Wanita Gila. Calling.
Perlahan Azkia bergerak mundur. Dia menggeser tombol hijau kemudian menempelkan ponsel di telinga.
"Ravin...."
"Halo...." Azkia ingin memberi tahu jika Ravin tidak bisa mengangkat panggilan.
"Lo siapa?"
Azkia mengernyit, mencoba mengingat si pemilik suara. Hingga dia terbayang seorang wanita yang mengejar Ravin. Wanita gila itu. "Pak Ravin sibuk." Setelah mengucapkan itu dia mematikan sambungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...