Jarum jam semakin bergerak menuju angka sembilan. Namun, wanita yang sejak tadi ditunggu Ravin tidak kunjung datang. Dia kira, Griz akan datang tidak lama setelah jam pulang kantor berakhir.
"Percuma!" Ravin beranjak dari kursi yang terasa panas itu dan keluar ruangan.
Lorong ruang kerjanya terasa sepi, memang setiap harinya juga seperti itu. Namun, saat malam hari lorong itu lebih menyeramkan karena hanya terdapat lampu tempel yang kurang terang. Bukannya segera mengganti, tapi Ravin membiarkan saja seperti itu.
Sampai di lantai bawah, Ravin bergegas menuju ke satu-satunya mobil yang masih terparkir. Dia segera masuk kemudian melepas jas hitamnya. Saat itulah Ravin kembali dibuat bimbang.
Ravin ingat ucapan Azkia jika papanya ingin makan malam bersama. Dia yakin, papanya masih menunggunya sambil mengecek pekerjaannya. Salah satu alasan mengapa dia mengajak pergi, agar dia memiliki alasan untuk tidak menemui papanya. Sayangnya, Griz tidak kunjung datang.
Brum....
Mobil hitam itu mulai meninggalkan basement yang sangat sepi itu. Ravin mengemudi dengan satu tangan, sedangkan tangan satunya bersandar di dekat pintu. Dia sedang berpikir, akan menemui papanya atau tidak.
Cit....
Ravin membelokkan mobilnya ke jalur berlawanan dan mengemudi dengan kecepatan tinggi. Dia sudah memutuskan untuk menemui papanya, meski hanya beberapa menit. Setelah itu dia bisa pulang dan melupakan semuanya.
"Sial...." Ravin memukul kemudi. Dia tidak bisa mengabaikan papanya begitu saja, tidak seperti yang sering dilakukan papanya.
Beberapa saat kemudian, mobil Ravin masuk ke sebuah rumah megah yang didominasi warna putih. Beberapa pelayan terlihat keluar dan membukakan pintu. Ravin juga melihat dua orang lelaki yang menghampiri mobilnya.
"Selamat malam Pak Ravin," sapa salah satu pegawai setelah membuka pintu mobil Ravin.
Ravin melepas sabuk pengaman kemudian turun. Dia berjalan sambil membenarkan letak dasinya, tanpa membalas sapaan itu. Langkahnya terlihat mantap. Matanya fokus menatap depan dengan tatapan tajam. Dagunya terangkat, terlihat begitu percaya diri. Namun, bagi beberapa orang yang melihat, Ravin terlihat menakutkan.
"Selamat malam Pak Ravin." Tiga pelayan membungkuk saat Ravin melewati mereka.
Langkah Ravin terdengar menggema di rumah dua lantai dengan bangunan yang cukup tinggi itu. Dia berjalan tanpa menoleh karena tahu harus berjalan ke arah mana, serambi kanan. Di tempat itulah papanya sering menghabiskan waktu santainya.
Dugaan Ravin terbukti. Seorang lelaki berkaus putih duduk di kepala meja yang menghadap ke kolam ikan. Tempat itu sebenarnya lebih dikhususkan untuk tamu yang ada kepentingan bisnis. Namun, papanya lebih sering duduk di sana. Untuk apalagi jika tidak mengecek bisnis-bisnisnya?
"Kamu sudah datang?" Roish sempat merasa ada yang memperhatikan. Dia tersenyum, saat melihat anaknya berdiri dengan mata elangnya.
Ravin mendekat dan duduk di kepala meja yang satunya. Aneh memang, karena seorang ayah dan anak duduk saling berjauhan.
Roish menutup berkas yang diperiksa. Dia seketika berdiri dan menggerakkan tangan meminta Ravin mengikutinya.
"Kita makan di sini," ujar Ravin datar.
Pandangan Roish seketika tertuju ke beberapa pembantunya yang berdiri di dekat pintu pembatas. Dia menggerakkan tangan meminta agar menuruti permintaan Ravin. Setelah itu dia kembali duduk. "Sibuk apa?"
Ravin membuang muka. Perhatiannya tertuju ke lukisan seorang wanita yang membawa keranjang buah di samping pinggang. Di samping wanita itu ada seorang anak kecil yang memperhatikan dengan senyum merekah. "Kerja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...