"Udah hubungi detektif?"
Ravin baru keluar dari kamar dan langsung mendapat pertanyaan itu. Dia menoleh, melihat Griz yang telah rapi dengan setelan kantor berwarna pink muda yang dipadukan dengan blouse berwarna putih tulang. "Gue udah kirim email."
"Kok email? Telepon dong." Griz terlihat tidak sabaran. Dia mengikuti Ravin yang berjalan menuju dapur. "Kalau email-nya nggak dibaca?"
Ravin memasukkan biji kopi dan memasukkan ke mesin penggiling. Sambil menunggu kopi itu halus, dia berbalik menghadap Griz. "Itu cara mereka," jawabnya. "Kalau dia nyanggupin, dia langsung hubungi."
"Kalau enggak?"
"Ya berarti harus cari deketif lain."
Griz menghembuskan napas lelah. "Buang-buang waktu nggak, sih?"
"Sabar, dong!" Ravin berbalik dan melihat gelas panjang yang telah terisi bubuk kopi. Dia mengambil beberapa sendok kemudian memasukkan ke mesin penyeduh kopi berukuran kecil. Dia memasukkan air panas kemudian tetesan air berwarna hitam itu keluar dari penyaringan.
"Kira-kira kapan gue bisa ketemu dia?" Griz berdiri di samping Ravin sambil memeluk pinggang lelaki itu. "Gue nggak bisa nunggu lama."
"Mungkin tiga hari."
"Lama banget!" Griz mengeluh. Menunggu sampai esok saja dia merasa sangat lama, apalagi ini tiga hari. "Besok siang nggak bisa?"
Ravin mengangkat bahu. "Tiga hari itu paling cepet."
Griz mengusap kening Ravin melihat ekspresi lelaki itu yang tampak serius. "Sekarang gue boleh ikut lo ke kantor?"
"Ya!" Ravin akan menjadikan Griz asistennya. "Tapi nggak resmi, ya! Bantuin Azkia. Soal bayaran biar dia yang urus."
"Gue pengen satu ruangan sama lo."
"Ya nggak bisalah!"
"Bisa! Lo yang punya!"
Ravin mengangkat secangkir kopinya dan menyingkir dari pelukan Griz. "Itu penawaran final dari gue. Kalau enggak, ya, nggak usah!"
Griz mendengus. "Oke! Gue terima." Setelah mengucapkan itu dia kembali ke kamar.
"Huh...." Ravin menghembuskan napas. Saat Griz menjadi asistennya, dia bisa melihat gerak-gerik wanita itu. Katakan dia terlalu mengawasi, tapi dia ingin selalu tahu kondisi Griz.
"Berangkat sekarang, Sayang?" tanya Griz setelah mengambil tas.
Ravin meletakkan cangkir kopi dan mendekat. "Inget! Jangan bikin masalah."
"Hmm...."
Drrrrt....
Tepat saat Griz keluar, ponsel di tasnya bergetar. Dia merogoh benda itu sambil melirik Ravin yang berjalan di sampingnya.
Arvin calling.
"Apa?" Griz refleks menjauh setelah tahu Arvin yang menghubunginya.
"Ke kantor dan izin baik-baik!" ujar Arvin. "Lo nggak bisa seenaknya pergi! Harus sesuai prosedur."
Griz menghentikan langkah. Dia menoleh ke Ravin yang ternyata memperhatikannya itu. "Oke, gue ke sana." Setelah itu dia mematikan sambungan.
Ravin memiringkan kepala, melihat Griz yang menggerutu sebal. "Nggak jadi?"
"Hmm. Harus ke kantor lama gue," jawab Griz sambil lanjut berjalan. "Tapi setelah urusan di sana gue langsung ke tempat lo."
"Sebelumnya lo kerja sama siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...