"Jauhin gue!" Ravin melangkah lebih dulu. Dia enggan berdekatan dengan Griz yang mencari kesempatan. Sudah cukup dia dipermalukan di lobi tadi. Memang, orang-orang yang menatap tidak bertanya secara langsung, tapi tatapan mereka seolah menyiratkan hal itu. Baru kali ini Ravin merasa sangat malu.
Griz mengekori Ravin yang berjalan menuju dapur. Dia memperhatikan lelaki di depannya yang sedang menegak minuman. Saat berbalik, Griz langsung menghadang. Dia mengetuk kening setelah itu tersenyum samar.
"Apa?" Ravin tidak mengerti maksud wanita itu. "Gini?" Dia mendorong kening Griz dengan jari telunjuk dan jari tengah.
"Emm...." Griz merengek sambil menggeleng tegas. Dia menyentuh kening kemudian memejamkan mata.
Satu alis Ravin tertarik ke atas. Apa wanita itu minta cium? Gila saja! "Minggir!" Ravin mendorong lengan, tapi saat akan menjauh wanita itu tiba-tiba memeluknya dari samping.
Griz tersenyum samar. Rasanya sangat nyaman bersandar di lengan Ravin. Apalagi, lelaki itu masih tetap wangi. Griz tiba-tiba merasa cemburu karena Azkia yang dekat dengan Ravin sepanjang hari. Tidak mungkin jika Azkia tidak menyukai bosnya.
"Lo jangan wangi-wangi!" ujar Griz tiba-tiba.
Ravin geleng-geleng. "Badan-badan gue, jadi terserah gue."
"Tapi lo milik gue!" Griz mengucapkan itu penuh tekanan. Dia mendongak, melihat rahang Ravin yang mengeras. "Jangan marah-marah, dong! Kalau marah lo makin ganteng."
"Nggak usah gombal!" Ravin menggerakkan lengan berusaha melepaskan diri.
Griz menggeleng, tidak mau melakukan itu. Dia sontak melompat ke tubuh Ravin. Kedua kakinya melingkar ke pinggul sedangkan kedua tangannya melingkar di pundak lebar Ravin. Wanita itu tersenyum saat Ravin menoleh.
Ravin menggeram. "Bisa turun nggak?"
"Enggak!" Griz menggeleng tegas. Dia mendekatkan bibir ke telinga Ravin dan meniupnya pelan. "Anterin ke kamar."
Tubuh Ravin mulai terasa gerah karena Griz terus menempelnya. Apalagi wanita itu sering menggodanya. Benar-benar menguji kesabaran.
"Ayo, gendong!" Griz mengguncangkan Ravin. "Ya udah kalau nggak mau. Gue nggak keberatan kayak gini terus!"
Ravin yang tidak betah perlahan bergerak dan melangkah ke kamar Griz. Setelah berhasil menyingkirkan wanita gila itu, dia akan mendekam di kamar. Itu lebih baik daripada terus digoda.
"Senyum, dong!" ujar Griz karena Ravin terus menggerutu.
"Ravin...."
Tubuh Ravin dan Griz menegang mendengar suara lain. Mereka sama-sama menatap ke arah depan dan melihat seseorang yang berdiri di tengah pintu. Bola mata Ravin membesar lalu dengan refleks dia menurunkan Griz.
Ravin menatap papanya yang berdiri dan menatap penuh selidik. Dia geram ke Griz yang tidak sempat menutup pintu hingga papanya masuk. Selain itu, posisi barusan yang membuat Ravin kian marah.
Griz berdiri di samping Ravin dengan wajah canggung. Dia tahu, lelaki di depannya adalah Roish, Papa Ravin yang juga andal dalam berbisnis. Tidak menyangka dia bertemu dengan pria itu di saat kondisinya sedang kacau. Refleks Griz mengusap anak rambut dan merapikannya.
Roish geleng-geleng setelah melihat adegan cukup mesra tadi. Dia heran saat datang pintu apartemen Ravin terbuka. Padahal selama ini anaknya itu tidak pernah membiarkan pintunya terbuka. Seolah menolak seseorang yang akan datang.
"Kenapa papa ke sini?" Ravin mendekat. Dia hendak melewati papanya dan mengajak berbicara di luar.
Roish segera menarik tangan Ravin, menghentikan anaknya. Dia menatap Griz yang masih berdiri di posisinya dan mulai menguasai keadaan. Sekarang wanita itu tersenyum dan berdiri tegak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...