TIE-26

1.8K 95 4
                                    

Saat terdengar suara heels beradu dengan lantai, beberapa karyawan yang duduk mengelilingi meja panjang seketika menoleh. Perhatiannya tertuju ke satu titik, seorang wanita dengan terusan sheath dress berwarna navy dan kacamata putih yang keluar dari pintu lift.

"Good morning." Griz menyapa sambil melepas kacamatanya. Dia melihat teman karyawannya yang belum dia hafal namanya satu persatu. Mereka hanya menatap, tapi tidak merespons sapaannya.

"Siap meeting sekarang?" Tiba-tiba terdengar suara berat.

Karyawan tadi langsung mengalihkan pandang. Mereka melihat seorang lelaki yang memakai kemeja putih lengan panjang sambil mendekap sebuah laptop. Seketika mereka menunduk. "Baik, Pak."

Griz menoleh ke Arvin. Dia heran mengapa tadi sapaannya tidak dibalas, sedangkan saat melihat Arvin langsung terlihat ketakutan. Dia memiringkan wajah, saat Arvin menatapnya tanpa banyak ekspresi. "Apa?"

"Sana kerja!" perintah Arvin sambil menggerakkan dagu.

"Iya." Griz menjauh. Namun, setelah tiga langkah dia berbalik. "Semangat!" Dia berteriak sambil mengepalkan tangan.

"Semangat!" Karyawan lain membalas ucapan Griz.

Arvin mengembuskan napas melihat tindakan itu. "Semangat," ujarnya meski ekspresinya tidak sesuai dengan ucapannya.

Griz berbalik dan menuju meja kerja. Dia melirik Arvin yang mulai duduk di ujung meja. Kemudian dia mendapati karyawan lain yang mencuri pandang ke arahnya. Griz hanya tersenyum lantas mulai menyalakan monitor.

Tadi pagi, Arvin sempat bilang jika ada meeting dengan para programer. Hal itu pula yang membuat mereka datang lebih pagi. Katanya, akan ada game terbaru yang akan launching awal bulan nanti.

"Masih jam delapan." Griz melirik jam dari layar. Dia mengambil tas berwarna putihnya lantas mengeluarkan ponsel.

Seperti biasa, tidak ada pesan dari siapapun. Sejak kondisi ekonomi keluarga Griz menurun, teman-temannya yang sok akrab tidak lagi menghubunginya. Selain itu Griz juga memutuskan keluar dari grup. Dia tidak butuh lagi teman yang hanya datang saat dia sedang bahagia. Karena itu, tidak ada lagi yang memenuhi notif. Tidak ada lagi yang menghubunginya.

Pikiran Griz seketika tertuju ke Ravin. Seperti biasa, lelaki itu tidak akan mau menghubunginya. Padahal, kemarin mereka melewatkan waktu yang sebenarnya membuat mereka semakin dekat.

"Oke! Gue nggak masalah memulai duluan." Griz mencari kontak Ravin.

Griz: Morning, Sayang.

Griz: Semangat kerjanya.

Setelah pesan itu terkirim, Griz menatap ke tengah ruangan. Perhatiannya tertuju ke Arvin yang sedang menjelaskan sesuatu sambil membawa kertas di tangan. Wajah lelaki itu terlihat serius.

Griz tanpa sadar tersenyum. Dia baru tahu jika Arvin saat serius seperti itu terlihat tampan. Yah, bisa dibilang Arvin tampan tapi sayangnya ketampanan itu tidak membuat Griz langsung tertarik.

Sadar dengan tindakannya, Griz segera membuang muka. Dia menepuk sisi kepala sambil mengenyahkan pikirannya. "Ngapain juga gue lihat Arvin? Bisa-bisa dia besar kepala."

***

Senin pagi, Azkia sengaja datang lebih awal. Dia tahu bosnya itu sering datang pukul tujuh pagi. Awalnya dia ingin datang di jam yang sama, tapi dia takut bosnya akan curiga. Akhirnya dia memilih datang pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Plus, membawakan sarapan untuk bosnya.

Harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Itulah yang dialami Azkia sekarang. Sampai pukul delapan lebih sepuluh menit, Ravin tidak kunjung datang. Azkia beberapa kali mendekati lift, berharap bosnya segera muncul. Sayangnya, lelaki itu belum juga datang.

Take it EasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang