TIE-55

2K 88 8
                                    

Wanita yang berdiri di depan balkon melambaikan tangan, menatap mobil hitam yang melaju keluar dari halaman rumah. Senyumnya muncul kala si pengemudi mengeluarkan tangan ke atas. Sayang, senyum itu langsung pudar saat mobil itu telah menjauh.

Griz memegang pinggiran pagar sambil menunduk. Dadanya kembali terasa sesak. Seharusnya dia senang karena bisa kembali ke rumah. Namun, sekarang dia tidak menginginkan itu. Bahkan dia merasa saat tidak tinggal di rumah itulah momen terbaiknya.

Ya, terbaik karena Griz bisa tahu orang yang benar-benar peduli siapa saja. Dia menemukan seseorang yang jauh lebih melindunginya daripada orangtuanya sendiri, Ravin. Dia menemukan seseorang yang menganggapnya sebagai seorang teman, Andrik. Meski di masa itu dia harus bertemu dengan wanita penuh tipu muslihat, Artari. Namun, setidaknya dia juga bertemu dengan lelaki lain yang juga baik kepadanya, Arvin.

Napas Griz mendadak memburu ingat perjalanan singkatnya tapi penuh makna itu. Sekarang, dia kembali ke tempat awal. Andai bisa memilih, dia ingin tetap bersama Ravin dan tidak akan mencari orangtuanya jika tahu mereka tidak benar-benar peduli.

"Ravin sudah pulang?"

Tubuh Griz menegang mendengar suara mamanya. Satu hal yang membuatnya aneh, mamanya semakin asing. Biasanya jika seorang ibu dan anak telah berjauhan, mereka akan saling melepas kerinduan. Namun yang terjadi, Griz menjaga jarak.

"Griz...." Soraya melangkah mendekat dan berdiri di samping Griz. Dia mendongak, melihat langit yang masih cerah tapi tidak begitu terik.

Griz menoleh, menatap mamanya yang terlihat kurus dari terakhir bertemu. "Apa yang mau mama bicarain?" tanyanya to the point. "Kasih tahu semuanya sebelum aku nggak mau denger apapun."

Mata Soraya terasa panas. Dia menunduk, lalu air matanya turun dengan sendirinya. "Mama sama papa ngelakuin ini buat kamu."

"Buat nyakitin aku?" tebak Griz. "Kalau emang kayak gitu kalian berhasil."

"Nggak ada niat buat nyakitin, Griz!"

"Ya terus?"

Soraya menghadap anaknya. "Mama sama papa pikir, kamu bakal menderita kalau bisnis papa bangkrut."

"Karena itu kalian ninggalin aku tanpa alasan?"

"Hmm...." Soraya mengangguk. "Sebenarnya kami masih ngawasin kamu."

"Tapi kenapa aku disuruh ke rumah Artari?" tanya Griz. Jika mamanya memang mengawasinya, mengapa justru kabur saat dia ingin bertemu? Griz tidak serta merta percaya.

Soraya kembali menatap depan dengan kedua tangan terkepal. "Karena Artari minjamin uang, buat bayar utang yang udah jatuh tempo."

"Terus apa maksudnya mau jodohon aku sama Arvin?" Griz ingat perkataan Arvin waktu itu. Dia dijodohkan tapi dia tidak tahu apa-apa. Dia terlihat sangat bodoh.

"Itu kesalahan papa sama mama." Kepala Soraya tertunduk. "Mama tahu pesona kamu. Mama yakin kamu bisa bikin Arvin jatuh cinta dan bikin Artari nggak semena-mena lagi."

"Kalian yang bikin Tante Artari kayak gitu, kan?" potong Griz. "Kalian rebut bisnis suami Tante Artari, kan?"

Napas Soraya tercekat. Dia langsung terbayang Demasetya dengan senyum lembutnya. Dia terbayang Demasetya yang selalu menengahi pertengkaran. Sayangnya, lelaki itu telah pergi dengan penuh kekecewaan. "Ya," jawabnya pelan. "Mama sama papa yang bikin Artari kayak gitu."

Griz menyugar rambut ke belakang. "Terus kenapa akhirnya nyuruh aku deket sama Ravin?" tanyanya. "Kalian tahu aku tinggal sama Ravin makanya berubah pikiran?"

"Karena Artari semakin nuntut!" jawab Soraya apa adanya. "Dia mau papa langsung hancurin bisnis Roish."

"Terus? Mama jadi nyerang balik Artari?" Griz geleng-geleng. "Gila!"

Take it EasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang