"Saya lebih suka menyesal daripada dibuat penasaran." Griz menepuk pundak Ravin dengan pelan.
Ravin memperhatikan wanita yang tidak ketakutan mendengar ancamannya itu. Padahal, nada suara yang agak dalamnya membuat orang lain langsung ketakutan. Entah, wanita di depannya memang berani atau hanya memiliki pertahanan yang bagus.
"Saya bisa sakitin kamu," ujar Ravin sambil memajukan wajah.
Griz tidak mundur sedikitpun. Dia bahkan bergerak pelan hingga hidungnya menyentuh hidung Ravin. Kemudian kedua tangannya melingkar ke leher lelaki itu. "Kamu sudah tahu siapa saya?"
"Hmm...." Ravin semakin memajukan wajah. Dia melihat mata Griz mulai terpejam. Ravin memiringkan wajah kemudian tangannya terangkat.
Pletak....
"Sialan!" Griz refleks mundur setelah mendapat jitakan kencang. Dia menutup kening dengan kedua tangan lalu menatap Ravin. Lelaki itu menatapnya dengan tajam tanpa senyum sedikitpun.
Ravin memperhatikan Griz yang terlihat marah. Dia yakin, wanita itu pasti kesakitan dengan jitakannya. Dia sengaja melakukan itu agar Griz berhenti mengganggu. "Anda bisa pergi sekarang." Ravin menggerakkan tangan ke arah pintu.
Griz tidak merespons. Dia tetap menatap Ravin dengan tatapan marah. Ini pertama kalinya ada seseorang yang menjitaknya. Dari kecil hingga dewasa, dia tidak pernah dipukul, dicubit atau apapun yang berhubungan dengan kekerasan fisik dari orang lain.
"Sakit?" tanya Ravin kala Griz tetap diam.
"Menurut Anda?" Griz mengusap kening kemudian mengambil kaca dari tas slempangnya. Dia melihat keningnya mulai memerah.
Ravin terlihat puas melihat kening Griz yang memerah itu. Dia yakin, nanti malam kening itu pasti bengkak.
"Saya minta ganti rugi!" ujar Griz setelah melihat keningnya benar-benar memerah.
"Kirim tagihan dokter ke saya." Ravin kembali duduk dan menyeruput minumannya.
Griz mendekat dan merebut minuman itu. Dia menatap tajam saat melihat Ravin hendak marah. "Anda pikir saya nggak mampu?"
"Saya nggak bilang gitu." Ravin mendorong pinggang Griz. Namun, wanita itu selalu kembali berdiri di dekatnya.
"Saya bisa bayar sendiri."
"Baguslah."
Kedua tangan Griz terkepal. Dia melirik ke meja kerja Ravin dan melihat ponsel lelaki itu yang tergeletak. Dia mengambil ponsel itu dan berlari menjauh.
"Nggak sopan!" Ravin berdiri dan berlari mengejar.
Griz menekan nomor ponselnya dan menekan tombol hijau. Saat mendengar nada sambung dia mematikan panggilan itu dan berbalik. Dia terdiam, melihat Ravin yang berdiri di depannya.
Ravin mengambil ponsel yang diambil oleh Griz itu. "Nggak pernah diajari sopan santun?"
"Enggak." Griz menjawab sambil menggeleng. Dia melirik dan menyadari posisinya yang bersandar di tembok. Sedangkan Ravin berdiri di depannya dan belum ada tanda-tanda lelaki itu akan menyingkir.
Ravin terlihat mengecek ponsel dan melihat sebuah nomor di panggilan tertas. Dia lalu menatap Griz dengan tajam. "Berharap dapat nomor telepon saya?"
"Apapun yang saya inginkan pasti terwujud," jawab Griz dengan santai. "Save."
"Nggak akan!" Ravin mengantongi ponsel lalu tangannya terangkat.
Griz refleks melindungi kepala. Dia tidak ingin Ravin menjitaknya lagi. "Sakitnya aja belum ilang. Mau tambahin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...