"Jelasin siapa gue!" ujar Ravin ke Griz. "Cepet!"
Griz tersenyum sambil menatap Ravin. Tangannya terulur kemudian menepuk pipi Ravin. "Pacar gue!" Dia berjinjit lalu mencium pipi Ravin.
Ravin sebenarnya risih tiba-tiba langsung dicium. Namun, dia tidak mau begitu banyak bertindak. "Gue harus bawa Griz pergi."
Andrik menatap Griz butuh diyakinkan. Setahunya, wanita itu tidak memiliki pacar. "Griz! Kok lo nggak cerita ke gue?"
"Ayo, Griz!" Ravin merasa pembicaraan akan semakin panjang jika diteruskan. Dia menarik tangan Griz, tapi ternyata wanita itu kehilangan keseimbangan.
Tubuh Griz tertarik, tapi kakinya tidak bergerak hingga membuatnya terjatuh. Dia menyangga tubuh dengan satu tangan, sedangkan tangan satunya masih digenggam Ravin. "Kaki gue lemes banget."
Ravin mengembuskan napas pelan. Dia melepas genggamannya lalu membungkuk di depan Griz.
Kedua tangan Griz bergerak menggapai pundak Ravin. Setelah itu dia mulai naik ke punggung lebar itu. "Ayo pulang!" Griz menyandarkan kepala di sisi kepala Ravin. "Bye semua!" teriaknya sambil melambaikan tangan.
Andrik masih memandang Griz yang berada di gendongan seorang lelaki. Dia cukup tahu lelaki itu siapa, seseorang yang sering memesan ruang VIP tapi hanya berdiam diri. Dia bingung bagaimana Griz bisa berpacaran dengan lelaki itu. "Pasti dia cuma manfaatin Griz."
***
Ravin kembali menggendong Griz setelah memakirkan mobil di basement. Sebenarnya Griz tidak berat, hanya saja dia risih. Apalagi wanita itu menempel seperti koala. "Lo beneran nggak bisa jalan?"
Griz menggeleng. Dia menepuk pundak Ravin lalu mengeratkan pegangan. "Lo kuat. Masa ngeluh terus?"
"Lo bau! Gue nggak tahan!" balas Ravin sambil melangkah di lorong apartemen. "Gue turunin, ya!"
"Enggak!" Kedua tangan dan kaki Griz semakin menempel di tubuh Ravin. Wanita itu tersenyum lalu menatap depan. "Kan, romantis gendong pacarnya."
Ravin mendengus. "Nyusahin," jawabnya. "Gue tadi udah bilang, setelah kirim paket langsung balik dan beresin barang-barang lo. Kenapa nggak nurut?"
"Emang gue anaknya nggak nurut!" Griz menjawab sambil menahan tawa. "Jangan marah dong, Sayang." Griz mengapit pipi Ravin.
Ravin menggerakkan kepala hingga tangan Griz menjauh dari pipinya.
Griz kembali menyandarkan kepala. Matanya terpejam, tapi dia terbayang kondisi rumahnya. "Gue tadi ke rumah."
Ravin melirik sekilas. "Ambil barang lagi?"
"Hmm...." Griz menelan ludah saat tenggorokannya terasa tercekat. "Tapi gue sedih."
"Bohong." Ravin tidak melihat ada raut kesedihan dari wanita itu. "Lo kelihatan nikmatin waktu."
"Artinya topeng gue tebel, kan?"
Ravin tidak menjawab. Dia membuka pintu apartemen kemudian melepaskan sepatu dengan kakinya bergantian.
"Gue kecewa sama orangtua gue," ujar Griz. "Mereka nggak pernah merhatiin gue."
Tubuh Ravin sedikit menegang. "Lo beneran sedih?"
Griz terdiam dengan pandangan menerawang. Dia mengeratkan pelukan kemudian menggeleng pelan. "Kalau gue sedih lo ngejek gue, kan?"
Ravin hanya diam, berdiri di dekat pintu dengan Griz dalam gendongan. Dia mendengar suara wanita itu sedikit berbeda, terdengar parau. "Nggak akan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...