TIE-33

1.8K 104 6
                                    

Griz menggeleng pelan. Dia menyandarkan dagu di pundak Ravin kemudian tangannya terulur ke depan. "Seperti kata lo ini udah malem," ujarnya. "Jadi jangan berisik dan gendong gue ke kamar."

"Lo bener-bener kurang ajar!"

"Gue nggak tahu!" jawab Griz sambil menggeleng. Dia lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Ravin. "Yang gue tahu, gue cantik. Bener, kan?"

Bisikan itu membuat telinga Ravin meremang. Bahkan rasanya menjalar hingga ke tengkuk. Ravin bergidik, tidak ingin merasakan kesengsaraan lebih lama.

"Ayo!" ujar Griz sambil menggerakkan pundak Ravin.

Ravin melangkah menuju kamar tamu. Setelah itu dia menunduk hendak menurunkan Griz. Sayangnya, wanita itu semakin mengeratkan pelukan.

Griz terkekeh geli mendengar Ravin yang mengembuskan napas kasar. "Sampai ranjang, dong, Sayang."

"Nyusahin!" Ravin melangkah menuju pinggir ranjang setelah itu memukul lutut Griz.

Perlahan Griz turun lantas berbaring miring. Perhatiannya masih tertuju ke Ravin, melihat punggung lelaki itu yang tampak lebar. "Lo kenapa? Hari ini kok marah-marah terus? Nggak capek?"

"Gara-gara lo!" Setelah mengucapkan itu Ravin berjalan keluar. Tak lupa, dia menutup pintu dengan kasar.

Brak....

Tubuh Griz berjingkat. Dia berbaring terlentang sambil tersenyum. Dia yakin, Ravin pasti cemburu saat tahu dia mengobrol dengan lelaki lain. Griz terkekeh geli, tidak menyangka seorang Ravin bisa bertindak seperti itu.

Sedangkan di kamar, Ravin duduk di pinggir ranjang dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya saling menggenggam dan sikunya berada di atas paha. Ravin heran mengapa tadi merebut ponsel Griz. Satu yang dia rasakan, marah.

"Sia!" Ravin menyugar rambut ke belakang. "Bener kata Griz gue aneh."

Saat sedang berdiam diri, Ravin ingat suara seseorang di ponsel. Lelaki itu ingin menjemput Griz. Sebenarnya selain dekat dengannya, Griz dekat dengan siapa? Wanita itu layaknya playgirl yang tidak bisa dekat dengan satu lelaki.

"Sial!" Ravin beranjak menuju balkon. Dia merasa gerah. Entah suhu tubuhnya yang naik atau AC di kamarnya sedang tidak berfungsi.

"Gue semakin nggak bisa mengendalikan diri tiap Griz ada di samping gue." Ravin memegangi pinggiran balkon yang terasa dingin. Setelah itu dia mendongak sambil memejamkan mata.

Haruskah Ravin meruntuhkan semua tembok pembatas itu? Atau justru dia harus membangun tembok lagi yang lebih kokoh?

***

Pukul enam pagi, Ravin beranjak dari kamar. Dia menuju treadmil kemudian mulai berolahraga. Akhir-akhir ini dia makan makanan yang kurang sehat. Jadi, dia harus membakar lemak-lemak yang mulai menimbun. Selain itu dia juga ingin tubuhnya terus prima.

"Huh... Huh...." Napas Ravin mulai tidak beraturan. Dia terus menambah kecepatan hingga sepenuhnya berlari.

Wajah Ravin mulai dipenuhi dengan bintik keringat. Bagian depan kausnya mulai basah dan kakinya yang tertutup sepatu mulai terasa lengket. Setelah itu Ravin mengurangi kecepatan. Dia berjalan sedikit kencang sambil mengusap keringat yang menetes di pelipis.

"Waw!"

Tiba-tiba terdengar suara yang mengganggu. Ravin menoleh, melihat seorang wanita dengan rambut dicepol berdiri beberapa langkah darinya. Dia membuang muka dan melanjutkan kegiatannya.

"Butuh minum?" tanya Griz sambil mendekat. Dia memperhatikan wajah Ravin yang telah basah oleh keringat. Setelah itu dia melihat rambut lelaki itu juga terlihat basah. "Butuh handuk juga?"

Take it EasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang