"Awas aja kalau besok Anda datang lagi."
"Kalau itu nggak janji," gumam Griz penuh tipu muslihat.
"Ngomong apa?"
"Enggak!" Griz pura-pura tidak terjadi apa-apa. "Gimana kalau kita bicara santai? Ini di luar konteks kantor, kan?"
"Terserah!" Ravin berjalan masuk dan menyalakan semua lampu. Setelah itu dia berjalan ke dapur dan mengambil minuman dingin. Saat melihat Griz masih mengikuti, dia mengambil minuman lain dan melemparkan ke wanita itu.
Tak.... Botol cola itu jatuh setelah mengenai ujung jari Griz.
"Gimana, sih?" Griz menggerutu sebal. Dia mengambil cola itu kemudian membukanya tanpa pikir panjang.
Brush.... Isi cola itu menyembur.
Ravin yang melihat kejadian itu terdiam. Dia mendapati wajah Griz yang kini sepenuhnya basah. "Haha...." Tanpa sadar dia terbahak.
Prang.... Griz menjatuhkan botol yang isinya telah terkuras itu. Dia menunduk melihat ada cairan yang menetes dari dagunya. Kemudian dia mengibaskan tangannya yang masih basah. "Ini semua gara-gara lo, Ravin!"
"Enak aja!" Ravin tidak terima. "Hahaha...." Dia tidak bisa menyembunyikan tawa dari kejadian lucu barusan.
Griz tidak terima ditertawakan. Dia mendekat dan langsung memeluk lelaki itu. "Lo harus kena cola juga!" ujarnya sambil menggerakkan wajah ke dada Ravin.
***
"Sial! Sekalinya ada kesempatan gue malah bikin malu." Griz membasuh wajahnya yang penuh dengan cairan cola dengan tisu basah. Dia lalu menatap rambutnya yang lepek karena cola. "Ah! Rambut gue bisa rusak."
Griz menunduk ke wastafel kemudian membasahi puncak kepalanya. Setelah itu dia kembali menatap kaca. Penampilannya sangat buruk, wajahnya terlihat mengkilat dan rambutnya saling menempel.
Tok... Tok... Tok....
Perhatian Griz teralih. Dia berjalan ke pintu dan membukanya. Wajahnya tampak lelah saat melihat Ravin yang menatapnya sambil menahan tawa. "Apa lagi?"
Ravin meletakkan handuk di puncak kepala Griz. "Mandi sana."
Griz mengambil handuk itu lalu mendekapnya. "Terus bajunya? Lo mau beliin?"
"Banyak mau," geram Ravin. "Ada baju bekas gue."
"Gue nggak mau bekas!" Griz memang tidak tahu diri. Sudah bagus dia dipinjamkan baju, tapi malah meminta baju lain.
Ravin memilih berbalik alih-alih menjawab. Dia masuk kamar kemudian membuka lemari. Perhatiannya tertuju ke tumpukan pakaian yang jarang dipakai. Dia lebih sering memakai pakaian yang ada di tumpukan teratas. Padahal, pakaian lainnya banyak yang hanya baru sekali pakai.
Sreeet.... Ravin mengambil sweater dengan celana panjang berwarna abu-abu. Setelah itu dia kembali ke kamar mandi luar. Di lalu melongok karena Griz tidak menutup pintu. "Ngapain?" tanyanya saat mendapati Griz hanya menatap kaca.
Griz menoleh. Perhatiannya seketika tertuju ke pakaian di dekapan Ravin. "Ya udah sini. Daripada gue pakai pakaian kotor."
Ravin melempar pakaian itu ke Griz, kali ini wanita itu berhasil menangkap. "Nggak usah banyak mau," ujarnya sambil menutup pintu. "Jangan lupa dikunci."
"Lo takut khilaf, ya?" teriak Griz sambil menahan tawa. Dia membuka pintu dan tidak mendapati Ravin. "Vin! Takut khilaf, ya?"
Sedangkan di kamar, Ravin masih mendengar teriakan itu. Sebenarnya ini pertama kalinya dia mengajak seorang wanita ke apartemennya. Baginya, apartemen adalah akses terbatas. Orang-orang kantor kepercayaannya saja tidak pernah dia undang ke apartemen. Namun, hari ini dia mengajak wanita asing. Yah, meski sebenarnya tidak benar-benar mengajak karena wanita itu yang memaksa ikut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...