Ceklek....
Farizan masuk kamar setelah menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk dari Roish semalam. Dia hanya tidur beberapa jam dan sepertinya akan tidur sejenak sebelum kedatangan Roish.
"Papa...." Soraya masuk ke ruangan dan berlari menuju kamar. "Roish kemungkinan nggak ke kantor!"
Mata Farizan yang sebelumnya terpejam seketika terbuka. Dia terduduk dan menatap istrinya yang baru kembali sambil membawa kotak makan itu. "Kok kamu tahu?"
Soraya mendekat dengan napas memburu. "Aku ketemu Kepala Penjaga. Dia ambil berkas terus bilang Roish mungkin nggak dateng."
"Ada masalah?" Farizan yakin, tidak mungkin Roish meninggalkan tempat kerjanya jika itu bukan masalah pelik.
"Berantem sama Ravin," jawab Soraya. "Sekarang Ravin di rumah sakit."
Farizan menatap depan dengan pandangan menerawang. Anak dan bapak itu memang tidak akur. Namun, selama ini tidak pernah sampai beradu fisik. Farizan tahu, Roish diam-diam mencari tahu perkembangan bisnis anaknya. Dia terlihat bangga dengan pencapaian Ravin. Sayangnya, dua orang itu sudah terlanjur saling benci.
"Pa. Kita kabur sekarang?" Soraya memegang tangan suaminya dengan penuh harap. "Izinin aku ketemu Griz."
"Ketemu Griz?" Pandangan Farizan kembali tertuju ke Soraya. Dia tersenyum samar, tahu apa yang harus dilakukan. "Ya. Kita harus ketemu Griz."
Soraya seketika bangkit. "Ayo, Pa! Sebelum Roish berubah pikiran."
Farizan juga bangkit dan menuju kamar mandi. Ini kesempatan untuk bertemu Griz. Selama berjauhan, dia tidak pernah mendapat momen yang tepat.
"Akhirnya mama bisa ketemu kamu, Griz!" gumam Soraya terlihat girang.
"Ma! Telepon Griz aja. Jaga-jaga kalau kita nggak bisa ketemu." Farizan kembali dari kamar mandi setelah terpikirkan sesuatu.
Soraya mengerjabkan mata. "Apa kita nggak bisa temua dia langsung?"
"Buat jaga-jaga. Kamu kayak nggak tahu Roish aja." Farizan menuju lemari dan mengambil ponsel tanpa kamera yang digunakan istrinya untuk menelepon Griz. Jelas, tujuannya agar tidak mudah dilacak karena tidak ada GPS.
"Ya udah." Soraya mengangguk.
Farizan mencari kontak Griz dan berusaha menghubungi. "Sambil ngasih tahu dia buat nemuin kita," ujarnya sambil menepuk tangan Soraya.
***
Tangan yang memegang pagar pembatas itu bergetar hebat. Belum apa-apa, Griz khawatir tangannya kehilangan keseimbangan kemudian terjatuh. Meski keinginannya memang jatuh dari lantai teratas rumah sakit.
"Oke! Lo nggak boleh takut," gumam Griz sambil menarik napas panjang.
Kaki Griz bergerak ke atas. Dia hampir berhasil duduk di tembok pembatas yang terasa hangat itu. Angin yang berembus semakin membuatnya ketakutan. Dia seperti daun yang dengan mudah terbang tertiup angin.
Drttt.... Ponsel di saku Griz tiba-tiba bergetar.
"Ah! Siapa, sih, yang ganggu?" Griz menurunkan kakinya kemudian mundur dua langkah. Dia mengambil ponsel dan tidak mampu melihat jelas karena sinar matahari yang menyorot sedangkan ponselnya pencahayannya cukup redup.
Griz membungkuk dan mengangkat panggilan itu. "Halo."
"Ini papa, Griz."
Tubuh Griz seketika menegang. Dia menyugar rambut yang tertiup angin lalu mendongak saat air matanya hendak turun. "Kenapa papa hubungi aku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Take it Easy
Romance[TAKE SERIES 2] Griz selalu merasa hidupnya beruntung. Apa yang dia inginkan selalu terwujud. Ketika bertemu dengan Ravin, dia langsung menginginkan lelaki itu. Apapun caranya. Ketika rasa optimis itu terus ada, Griz dihadapkan satu kenyataan. Satu...