TIE-12

2.1K 101 3
                                    

"Gue titip barang-barang ini di apartemen lo." Griz duduk di bangku penumpang dan menatap Ravin yang mengemudi.

Ravin melihat Griz yang tersenyum kecil. Dia menggeleng tegas dan kembali menatap depan. "Ada pajaknya."

Griz mendengus. Dia menoleh ke belakang melihat barang-barangnya yang dia tumpuk. Kemudian kembali menatap Ravin. "Pokoknya kalau laku semua, lo gue kasih."

"Enggak!" Ravin menggeleng tegas. "Harus ada DP."

"DP apa?" Griz menggeram. Menurutnya, Ravin terlalu memanfaatkan keadaannya padahal lelaki itu kaya. "Ya udah, gue kasih DP."

"Berapa?"

Griz tersenyum samar. Dia menatap depan dan melihat jalanan yang sedikit lenggang. Griz kemudian bergeser mendekat dan mencium pipi Ravin dengan gemas.

Ravin mendorong Griz lalu melotot. "Bahaya!" Setelah mengucapkan itu dia kembali menatap depan.

"Hehe...." Griz menahan tawa karena aksinya barusan. "Bilang aja pengen dicium lagi. Nanti, ya, Sayang!"

Ravin bergidik. "Terus gue sekarang anterin lo ke mana?"

Griz terlihat menimbang-nimbang. Dia tidak mungkin mengajak Ravin ke rumah Tante Artari. "Kasih gue duit aja buat balik."

"Udah berapa kali lo minta duit?"

"Tadi lo ngasih gue duit. Mana sekarang?"

Ravin mengembuskan napas pelan. "Nanti," ujarnya. "Turun mana?"

Griz menatap depan sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Gue ke apartemen lo pindahin barang dulu."

"Ck! Gue nggak akan bakar barang lo."

"Lo nggak bisa dipercaya, Ravin!" teriak Griz. Dia menoleh ke belakang, menganggap barang-barang itu adalah uangnya. "Pokoknya gue harus simpen barang itu."

Beberapa saat kemudian, mobil Ravin berbelok ke apartemen. Dia memakirkan mobilnya kemudian menggerakkan dagu ke Griz. "Angkat sendiri."

Griz menunjukkan wajah sedihnya. "Bantuin." Dia menyentuh lengan Ravin dan mengguncangnya pelan. "Ayo!"

Ravin turun dari mobil kemudian membuka pintu belakang. Dia mengambil beberapa pakaian dan memindahkan ke pundaknya. "Udah gue bantu, kan?"

"Hmm...." Griz memutar bola matanya. Dia turun dari mobil dan mengeluarkan beberapa barangnya. Kedua pundaknya penuh dengan pakaian dan kedua tangannya membawa beberapa pasang sepatu. "Gue harus bolak-balik mindahnya."

"Derita lo," jawab Ravin.

Griz geram dengan tingkah lelaki itu. Dia menggerakkan kaki dan menendang paha Ravin. "Bener-bener nggak membantu."

"I'am."

***

Butuh tenaga untuk memindahkan barang-barang Griz ke kamar tamu Ravin. Apalagi dia hanya mengangkat sendirian. Ravin benar-benar tidak mau membantu, justru bersantai sambil menikmati kopi.

Brak....

Griz menutup pintu dengan kencang. Dia meletakkan tasnya di sofa kemudian bertolak pinggang. Perhatiannya tertuju ke Ravin yang menatapnya sambil menyeruput kopi. Griz seketika mendekat dan duduk di samping lelaki itu. "Bagi."

Ravin berusaha mempertahankan cangkir kopinya, tapi Griz menariknya lebih kencang. Dia menatap Griz yang menegak dengan haus. Pandangannya kemudian tertuju ke pelipis Griz yang berkeringat. "Sudah semua?"

"Hmm...." Griz mengangguk lalu meletakkan cangkir kopi yang telah tandas. Dia bertopang dagu dan menatap Ravin. "Lo bener-bener tepatin omongan lo."

Take it EasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang