TIE-54

1.9K 85 2
                                    

"Beneran, Vin?"

Ravin menunduk melihat area bawah yang sepi. Setelah itu dia menatap Griz yang masih duduk sambil menatapnya. "Bener. Ajak gue!"

Griz membuang muka. "Mending lo pergi," ujarnya. "Katanya lo berhasil bangkit dari penderitaan? Yang udah nikmati."

"Gue mau nikmatin itu semua sama lo." Ravin bergeser, tapi Griz bergerak mundur. Perut Ravin langsung mulas melihat tindakan itu.

Andrik menutup mata melihat perlakukan Griz. Percaya atau tidak, kakinya bergetar hebat. Dia hanya melihat, tapi bisa merasakan sensasi menegangkan itu. "Udah, dong! Griz, turun, lah!"

Ravin melirik kedua tangan Griz yang masih berpegangan di pembatas. Setelah itu dia menghadap wanita itu. "Lo yang bikin gue bangkit. Jadi, gue pengen terus sama lo."

"Lo ganteng, Vin. Banyak cewek yang mau sama lo." Griz mengatakan apa adanya. Dia yakin, sekali senyum maka ada banyak wanita yang mendekat.

"Tapi gue cuma mau lo," jawab Ravin sambil mendekat. Kali ini dia berhasil mencengkeram kaki Griz.

Griz bergerak berusaha meloloskan diri. Sayangnya, tangan Ravin mencengkeram terlalu kuat. Tidak kekurangan akal, Griz melepas pegangannya.

Mata Ravin melebar. "Jangan turun dulu. Barengan."

"Lo nggak boleh ngelakuin itu!" teriak Griz. "Sana! Lo jauh-jauh dari gue."

"Enggak!" Ravin menatap Griz dengan tajam. "Gue bakal naik. Tapi sebelum itu...."

Griz mengernyit melihat Ravin yang berjinjit. Kemudian ada kecupan yang mendarat di bibir. Pikiran Griz hampir terpecah. Sebelum akhirnya dia mengenyahkan pikiran itu.

"Kasih gue ciuman terakhir. Sebelum kita jatuh bareng-bareng," ujar Ravin.

"Enggak."

"Please...." Raut Ravin terlihat memohon. "Cium gue."

Kepala Griz bergerak ke kiri dan ke kanan. Jika mencium, dia yakin tidak akan rela meninggalkan lelaki itu. "Udahlah, Vin."

Tanpa pikir panjang Ravin mencium Griz. Satu tangannya yang mencengkeram kaki wanita itu langsung bergerak ke pinggang. Sedangkan satu tangannya bergerak ke pundak Griz. Sekali sentakan, dia menarik wanita itu.

Bugh....

Ravin memejamkan mata merasakan kepalanya membentur lantai. Namun, itu tidak membuatnya sakit. Justru dia lega karena berhasil menarik wanita itu ikut serta.

"Ravin...." Griz menatap Ravin yang berada di bawahnya.

"Gue nggak akan biarin lo bunuh diri, Griz. Nggak akan pernah." Ravin kemudian mendekap Griz dengan erat.

Andrik tersenyum lega melihat Griz berhasil turun. Dia menatap posisi Griz yang berada di atas tubuh Ravin dan mereka belum juga bangkit. "Posisi kalian," ingatnya. "Jangan sampai kena tuduh mau ngapa-ngapain." Setelah mengucapkan itu dia menjauh.

"Bisa menyingkir bentar?" tanya Ravin sambil terkekeh geli.

Griz mendengus. Dia bangkit dari tubuh Ravin kemudian duduk bersandar. Ravin seperti tidak mau melepaskan Griz. Dia segera bangkit dan memeluk wanita itu.

Satu tangan Ravin mengusap kepala Griz dengan sayang. Sedangkan tangan satunya mendekap tubuh wanita itu. "Masih ada gue. Jangan kayak gitu lagi."

"Gue bingung, Vin." Griz memejamkan mata. "Semuanya nyakitin gue."

"Iya. Mereka juga nyakitin gue."

"Papa sama gue bahkan nyakitin gue lebih parah."

"Iya, Sayang, gue ngerti." Ravin meremas lengan Griz. Dia tidak bisa membayangkan jika telat menemui Griz. Bisa jadi, itu akan menjadi kenangan buruknya.

Take it EasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang