TIE-47

1.6K 89 8
                                    

Pukul sebelas malam, Ravin baru menyelesaikan pekerjannya yang dibawa pulang. Dia berdiri, merenggangkan otot leher dan pinggangnya setelah itu berdiri tegak. Ravin mengambar ponsel setelah itu keluar dari ruangan.

Sambil berjalan, Ravin mengecek benda persegi panjang itu. Dia melihat satu email masuk dari detektif yang baru dikirim beberapa menit yang lalu. Ravin seketika berhenti dan membuka email itu.

MasterDet: Target memiliki sahabat dekat bernama Artari. Mereka menjalin hubungan dekat, tapi seperti menyembunyikan persahabatan itu. Artari sekarang tinggal seorang diri bersama sang putra, sedangkan suaminya belum diketahui ada di mana. Meski begitu Artari dan target diam-diam sering berkomunikasi. Terakhir dua hari yang lalu via telepon.

"Suaminya Demasetya?" Ravin menebak-nebak.

Menurut informasi dari salah satu rekan kerja target dulu, sebelum pergi target sempat bilang jika akan menemui satu-satunya orang yang bisa membuatnya bangkit. Namun, belum ada yang tahu target pergi ke mana. Saya duga target masih berada di kawasan Jakarta. Saya sudah cek di wilayah perbatasan dan di malam itu tidak ada mobil dengan nomor polisi milik target.

Besar kemungkinan target diam-diam menjalin kerja sama dengan orang terdekatnya. Satu yang patut dicurigai adalah Artari, karena dia pasti tahu di mana target berada. Saat ini saya sedang mengintai Artari dan mencari gerak-gerik yang mencurigakan.

Ravin mempercepat langkah dan masuk ke kamar. Dia melihat Griz telah terlelap sambil memeluk tubuhnya sendiri. "Griz...." Ravin menepuk lengan Griz.

"Udah selesai?" Griz membuka mata lalu merentangkan tangan.

"Baca ini dulu!"

Griz terbangun dan bersandar di lengan Ravin. Dia mengambil ponsel yang diulurkan dan membaca pesan itu. Matanya mengerjab beberapa kali, sebelum akhirnya memahami. "Tuh, kan, wanita itu ngerti!"

Ravin mengangguk. "Kita tunggu!"

"Nggak bisa!" Griz seketika turun dari ranjang.

"Griz!" Ravin berusaha mencegah, tapi Griz menyentak tangannya. "Sayang! Tenang!"

"Nggak bisa!" Griz menatap Ravin dengan wajah mengeras. "Gue bakal maksa dia buat ngomong. Gue nggak bisa lagi nunggu, Ravin."

Ravin menghela napas berat. "Ya udah, tapi gue temenin."

***

Lelaki yang sudah dua hari tidak pulang itu berdiri di samping mobil yang terparkir di rumah. Malam semakin larut dan dia memutuskan kembali di waktu itu. "Besok pagi gue harus interogasi mama."

Arvin membuka gerbang yang tidak dikunci. Dia melangkah tanpa menimbulkan suara lalu membuka pintu utama. Saat itulah dia dibuat kaget karena mamanya tidak mengunci pintu dari dalam.

Perlahan Arvin masuk dan melihat ruang tengah temaram. Dia mendongak ke tangga, kemudian memilih duduk di sofa panjang. Dia menjadi seperti ini setelah ucapan Griz waktu itu. Dia bimbang, harus mempercayai siapa.

"Tenang, Sayang!"

"Gue nggak bisa tenang!"

Arvin berjingkat mendengar dua orang yang berteriak itu. Dia hendak memastikan keadaan di luar, tapi pintu rumahnya terlanjur dibuka dari luar. Pandangannya lantas tertuju ke seorang wanita yang mengenakan gaun tidur dengan jaket kebesaran itu.

"Mana mama lo?" tanya Griz tidak bisa sopan lagi.

Ravin berdiri di belakang Griz sambil menatap lelaki yang tampak lelah itu. "Sorry. Boleh ketemu Bu Artari?"

Take it EasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang