TIE-57

1.8K 97 6
                                    

Satu jam setelah kepergian Ravin, Griz masih duduk di depan rumah. Dia memandang secarik kertas yang masih dipegang. Kemudian menatap kantong orange bunga-bunga yang berada di pangkuan.

Griz mengeluarkan isinya dan mendapati dress yang diminta Ravin untuk dikenakan setelah berhasil lolos dari rumah Roish. Dia mendapati dompet berwarna krem yang berisi kartu indentitas. Kemudian ada sebuah passport yang terjatuh di dekat kaki.

"Huh...." Napas Griz terasa berat. Dia memasukkan barang itu ke kantong kemudian menatap depan.

Rasanya Griz ingin pergi dan meninggalkan orang-orang yang menyakitinya. Namun, Ravin benar ada perasaan aneh yang menghalangi. Griz tidak tahu ini perasaan apa. Padahal, dulu dia dengan mudah pergi ke manapun yang dia mau.

Apa mungkin Griz peduli kepada mamanya?

Griz menggeleng, sepertinya tidak begitu. Dia baru bertemu dengan mamanya. Enggan diakui, dia rindu dengan wanita itu. Meski saat melihat wajahnya dia langsung sakit hati.

"Ah. Gue bingung...." Griz menyugar rambut ke belakang.

Tin... Tin....

Perhatian Griz teralih. Dia melihat sebuah mobil putih berhenti. Dia memilih diam, tanpa repot-repot membukakan gerbang.

Pria yang memakai kemeja biru muda keluar dari mobil. Dia menatap dari celah gerbang lalu memaksakan tersenyum. Griz yang melihat kedatangan papanya seketika membuang muka.

"Griz...," panggil Farizan sambil mendekat.

"Ma! Ada papa!" Griz berteriak tanpa repot-repot menatap Papanya.

Soraya segera berlari mendengar teriakan itu. Perhatiannya langsung tertuju ke suaminya yang berdiri tanpa banyak ekspresi itu. Kemudian dia menatap Griz yang masih duduk di teras. "Mending kamu pergi kalau cuma mau nyakitin Griz."

Pandangan Farizan tertuju ke anaknya yang masih membuang muka itu. "Kamu marah ke papa, Griz?"

"Ya pikir aja sendiri!" jawab Griz ketus. Dia ingin beranjak pergi, tapi sialnya kakinya terasa lemas.

"Kita bicara di dalam." Soraya menggerakkan tangan ke belakang pundak.

"Nggak perlu!" cegah Griz. "Papa nggak mungkin balik. Pasti sibuk sama bisnisnya."

Farizan mendekat dan duduk di samping Griz. "Papa dulu nggak punya apa-apa."

"Tahu! Papa dari panti asuhan." Griz menatap papanya yang terlihat kaget itu. "Aku tahu papa pasti nggak mau diremehin. Makanya fokus buat bisnis."

"Kamu benar."

"Tapi papa tahu, kan, rasanya sendirian? Tahu rasanya nggak disayangi?" Griz tidak bisa menahannya lagi. "Papa tahu rasanya dan biarin aku ngalaminnya juga! Tega!"

Soraya mendekat di samping suaminya. "Apa maumu sekarang?"

Farizan menahan napas. Dia tidak bisa tenang sejak Griz dan Soraya meninggalkannya. "Izinin papa ngembaliin semuanya," pintanya. "Setelah itu papa akan kembali ke kalian."

"Berapa tahun?" tantang Griz. "Aku kenal papa kalau kerja kayak apa. Papa nggak mungkin ninggalin bisnis papa."

"Griz...." Farizan berusaha menggapai anaknya. "Papa nggak bisa jadi papa yang payah buat kamu. Papa butuh kerja."

"Kerja secukupnya, Pa," ucap Soraya. "Aku udah nggak mau lagi terlibat hubungan dendam-dendam itu. Kalian semua sudah dibutakan jabatan sama kekuasaan."

Farizan mengusap wajah lelah. "Papa butuh waktu sampai akhir tahun." Dia kemudian menatap Soraya dan Griz. "Kalian semua berarti ke papa."

"Pa!" Soraya tidak habis pikir melihat suaminya yang tidak berubah itu. "Kamu mau kayak Roish?"

Take it EasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang