keluarga Paijo

4.2K 82 10
                                    

Sudah hampir 2 minggu aku tinggal di rumah paijo. Aku pun mulai terbiasa dengan kegiatan sehari hariku disini. Dari membantu ibu paijo memasak dll. Aku pun tak merasa keberatan karena aku yang sudah terbiasa melakukan itu waktu di rumah Ali.

Tak jarang aku yang di ajak ibu untuk pergi ke sawah membawa makanan untuk Paijo dan ayahnya yang sedang membajak sawah. Aku pun merasakan kehangatan lagi di dalam sebuah keluarga setelah sekian lama hidup di perantauan. Apalagi dengan keluarga Paijo yang sangat senang menerimaku.

"Pak. Berhenti dulu! Ayo makan!" Ucap ibu memanggil paijo dan ayahnya yang sedang membajak sawah. Kami pun duduk di sebuah Saung kecil yang dibuat oleh ayah paijo untuk beristirahat.

Aku pun menyiapkan makanan untuk mereka berdua yang terlihat lelah dan banjir keringat. Ku ambilkan nasi dan lauk yang telah kami persiapkan untuk mereka.

"Nok. Katanya kamu kemarin ke rumah sakit ya?" Ucap Ayah paijo dengan ramah kepadaku.

"Iya pak. Aku mau balik lagi jadi laki laki. Jadi mau konsultasi ke dokter dulu." Ucapku sambil tersenyum. Sekejap aku pun memandangi hamparan sawah yang asri dengan angin sepoi-sepoi.

"Ya ampun Nok. Padahal kamu cantik loh kalau jadi perempuan. Pinter masak lagi. Masak mau jadi laki laki lagi?" Ucap Ibu paijo yang membuatku tersipu dengan pujiannya.

"Biarin lah bu. Itu kan pilihan hidupnya." Ucap paijo dengan mulut yang belepotan.
Aku pun tersenyum melihat keluarga Paijo yang begitu baik kepadaku.

"Padahal kalau kamu mau bapak mau jodohin kamu sama Paijo." Ucap ayah paijo yang telah selesai makan. Aku dan Paijo pun kaget mendengar hal itu. Tak pernah ku bayangkan ada orang tua yang mau menerima anaknya untuk menikah denganku yang seorang waria.

"Apa sih pak? Orang kita temenan. Lagian Fanny juga ga bakalan suka sama aku." Ucap Paijo. Kami pun tertawa melihat ekspresi paijo yang bingung dan salah tingkah.

Kami pun bercanda bersama. Ditemani dengan beberapa gorengan yang telah aku buat. menemani kehangatan kami berempat.

Aku dan ibu pun pamit pulang ke rumah untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Kami pun pulang berdua meninggalkan paijo dan ayahnya yang masih harus membajak sawah.

Di sepanjang perjalan. Ku lewati rumah rumah yang masih tampak asri. Tak jarang aku melihat tetangga yang menyapa kami. Sungguh pemandangan yang sangat jarang aku temui waktu di Bandung.

*
Malam pun tiba. Aku pun merebahkan tubuhku di kasur setelah menyelesaikan pekerjaan rumah. Rasa lelah dan kantuk pun mendera tubuhku.

"Fan." Ucap Paijo yang masuk ke kamarku. Aku pun langsung terbangun dan menanyakan maksud paijo.

Kami pun berbincang tetang keseharian kita sehari hari. Kami pun tertawa bersama. Ku lihat paijo yang tak banyak berubah dari dulu.

"Jo. Lo seneng ga kalau gue jadi cewek begini?" Ucapku yang ingin tahu pendapat Paijo.

"Hem. Lo cantik kok Fan. Jujur lo cewek idaman gue banget sih." Ucapnya dengan wajah yang polos. Aku pun menjadi salah tingkah dengan ucapan paijo.

"Lo suka gue yang sekarang ini?"

"Ya jujur. Lo beda banget. Gue aja sampai ga percaya sama perubahan lo yang sekarang. Bahkan keluarga gue aja mau nerima lo. Ya tapi gue sadar juga sih. Mana mau lo sama gue." Ucap paijo dengan menghela nafas. Aku pun teringat dengan segala kebaikan paijo dan keluarganya yang telah mengganggap ku sebagai anak mereka sendiri.

Kulihat Paijo yang begitu baik dan perhatian denganku. Tak jarang aku melihat dengan seksama gaya berbicara Paijo yang begitu polos dan gugup saat berbicara denganku. Berbeda dengan Ali yang kadang suka berbohong kepadaku.

Ya. Aku mengerti. Paijo memang dari dulu selalu grogi dan gugup saat berbicara dengan wanita. Maklum dari dulu ia jarang sekali berinteraksi langsung dengan wanita. Apalagi dengan kebiasaannya di desa yang bekerja. Membuat ia menjadi canggung saat bertemu wanita.

Paijo pun pamit untuk tidur. Ku tutup pintu kamarku dan mencoba untuk tidur. Perlahan aku pun terhanyut dalam mimpiku.

Aku pun bermimpi berada di sebuah pantai. Kulihat pantai yang sepi dan indah dengan cahaya matahari sore yang menghangatkan. Sekejap aku pun terhanyut dalam keindahan itu. Sampai seseorang memanggilku dari belakang.

Aku pun terkejut. Melihat sesosok bayangan yang sangat aku kenal dan aku rindukan.

"Syifa? Kamu disini?" Ucapku dengan memegang kedua tangannya. Syifa pun tampak hanya terdiam dan memberikan tatapan dingin kepadaku.

Aku pun kebingungan atas apa yang telah aku lakukan sampai membuat syifa marah di sana. Apakah gara gara aku berubah seperti ini.

"Kamu kenapa lari dari takdir kamu?" Ucap syifa menatapku. Kulihat raut wajahnya yang mulai mengendur dan tak setegas tadi.

"Maksud kamu?" Ucapku yang belum paham. Syifa pun melepaskan genggamanku dan menatap ke arah laut.

"Aku tau kamu mencintaiku. Tapi kumohon. Lupakan aku. Aku tak ingin kamu menderita karena terus mengingatku." Ucap syifa. Aku pun kembali merasakan sakit karena cintaku tak pernah terbalas kepadanya.

"Aku cinta sama kamu Fa. Aku masih ga rela atas kamu yang pergi terlalu cepat ini." Ucapku menahan rasa sesak di dadaku. Perlahan aku pun meneteskan air mata.

"Ham. Aku juga suka sama kamu. Aku bakalan nunggu kamu kok. Yang terpenting sekarang kamu jalanin dulu sama orang yang akan menjadi takdir kamu." Ucap Syifa dengan menggenggam tanganku.

"Aku bakal selalu bantu kamu kok. Tenang aja. " Ucap syifa dengan memberikan senyumannya. Senyuman yang selalu membuatku bahagia dulu.

"Aku pamit ya." Ucap syifa yang menghilang entah kemana. Aku pun bingung dan mencarinya.

Tiba tiba seseorang pun menepuk bahuku. Aku pun menoleh dan kulihat sesosok pria yang wajahnya tertutupi dengan cahaya. Aku pun merasa tak asing dengan pria ini.

Dia pun memegangi ku dan menuntunku. Sekejap tempat itu pun berubah dari yang tadinya lautan berganti menjadi sebuah altar pernikahan. Aku pun semakin terkejut melihat diriku yang di balut dengan pakaian pengantin wanita. Sangat selaras dengan setelan jas yang dipakai pria yang menggandengku itu.

Perjalanan panjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang