Berubah

4.6K 75 11
                                    

Aku pun menangis sampai malam hari. Ditengah kegilaan ku. Terdengar suara pintu yang di ketok. Aku pun membukakan pintu. Terlihat Ali yang melihatku dengan tatapan kaget melihatku yang sudah awut awutan.

Sekejap kami pun hanya berpandangan tanpa ada yang memulai pembicaraan. Kulihat sorot mata Ali yang terkejut melihat kamarku sudah berantakan. Ali pun tampaknya sudah mengerti tentang apa yang aku lakukan sampai jadi begini.

"Kenapa nangis?" Ucap Ali dengan enteng. Aku pun semakin emosi dengan Ali yang tak peka dengan keadaanku saat ini.

Aku pun hanya diam tak menjawab. Ku usap mataku yang sembab. Tiba tiba Ali pun memelukku. Perasaan hangat dan kaget pun merasuk kedalam tubuhku. Aku pun hanya bisa pasrah tanpa sedikitpun melawan.

"Yok keluar cari makan!" Ucap Ali dengan lemah lembut. Aku pun hanya mengiyakan. Dengan perasaan yang masih jengkel. Aku pun hanya mengekor di belakang Ali yang sedang mengambil motor.

Ali pun menyuruhku naik. Tak lupa ia yang merapikan rambutku dan memasangkan helm di kepalaku. Aku pun membonceng dirinya. Terasa di sepanjang perjalanan hanya diam tanpa ada percakapan apapun.

Ali pun berhenti di sebuah Angkringan. Ia pun menyuruhku untuk duduk di sebuah tempat lesehan yang sudah disediakan. Ku lihat ia yang sedang memesan.

Tak lama Ali pun langsung datang dengan membawa makanan dan minuman yang telah ia pesan.

"Kenapa? Masih marah?" Ucap Ali dengan gaya bercandaanya. Aku pun merasa aneh dengannya yang tak sedingin tadi.

"Menurutmu?" Ucapku dengan ketus. Aku pun berusaha untuk mengusapi wajahku yang sembab dengan tisu.

Tiba tiba Ali pun mengarahkan sendok yang berisi nasi kepadaku. Aku pun semakin bingung dengan sikapnya.

"Apaan sih Al? Malu tau." Ucapku dengan menyuruhnya berhenti.

"Lo kenapa? Gue denger dari kamar. Nangis nangis kaya orang gila gitu." Ucap Ali dengan memakan Nasi kucing yang ia pesan.

"Lo pikir aja sendiri." Ucapku dengan ketus. Melihatnya seolah tak tahu tentang yang ku alami.

Ali pun kembali lagi menyuapiku. Aku pun membukakan mulut. Ku lihat ia yang tertawa melihatku.

"Kenapa ketawa?"

"Gpp. Ternyata lo lucu juga kalau lagi marah." Ucapnya sambil ingin menyuapiku. Aku pun langsung mengambil nasi di tangannya dan berniat makan sendiri. Ali pun semakin tertawa tingkahku.

"Gimana? Lo mau jadi Ilham atau Fanny?" Ucap Ali. Aku pun bingung dengan pertanyaannya.

"Ga tau. Males mau bahas." Ucapku dengan ketus sembari memakan sate usus.

Ali pun hanya terdiam melihatku makan dengan lahap. Aku pun tak memperdulikan Ali yang terus memandangiku. Bagiku isi perutku lebih penting setelah seharian tak ku isi. Daripada berdebat dengan Ali.

"Fan. Jadi istri gue ya!" Ucap Ali. Aku pun tersedak saat minum. Mendengar ucapannya.

"Apa? Istri?" Ucapku dengan spontan.

"Iya. Kita nikah." Ucap Ali. Aku pun tak habis pikir dengan jalan pikirannya. Padahal tadi siang dia masih seorang yang dingin seperti gunung es. Namun berubah dalam 180° dalam sekejap.

" Lo kenapa sih? Tadi lo dingin banget sama gue. Kok sekarang jadi gini?" Ucapku heran. Ali pun tertawa dengan keras. Kututupi mulutnya yang membuatku malu dilihat orang banyak.

"Al. Jangan keras keras. Ini tempat umum tau." Ucapku kesal. Ali pun menggaruk garuk kepalanya dengan tertawa kecil.

" Gue tadi itu cuma akting Fan sama lo. Biasa. Ngetes. Siapa tau lo emang beneran suka sama gue." Ucap Ali dengan tertawa sinis.

"Maksudnya?" Ucapku yang tak paham.

Ali pun menjelaskan jika semenjak aku datang ke rumah sakit. Ia berakting. Dia ingin mengetes ku. Apakah aku benar benar peduli dengannya atau tidak. Ia pun berkata bahwa yang tadi ia lakukan hanyalah sebuah sandiwara untuk melihat bagaimana ekspresi ku.

Aku pun memukulnya dengan bertubi tubi  karena merasa telah dibodohi. Perasaan marah kepadanya pun hilang berganti perasaan kesal.

"Ih. Lo tega banget sih sama gue. Jahat lo." Ucapku dengan memukulnya. Ia pun hanya tertawa senang karena bisa membodohi ku.

"Tapi lo jujur kan. Kalo lo jadi Fanny lo mau nikah sama gue?" Ucap Ali menggodaku. Aku pun berfikir sejenak atas ucapan yang aku ucapkan tadi siang.

Aku pun bimbang dengan pilihanku. Sekejap aku memikirkan pilihan yang tepat yang akan menentukan hidupku.

"Gue siap kok buat operasi lo. Masalah biaya. Gue udah siapin." Ucap Ali menambahi. Aku pun semakin bimbang. Karena menyangkut operasi yang tak bisa di kembalikan ke bentuk semula.

"Gue bingung Al. Gue takut kalau nanti gue nikah sama lo. Lo bakal ninggalin gue." Ucapku mengungkapkan segala pertanyaan yang ada dibenak ku.

"Ninggalin? Atas dasar apa gue ninggalin lo?" Ucap Ali.

"Ya kalau gue udah tua. Terus gue juga ga bisa punya anak. Pasti lo bakal cari cewek tulen juga kan buat cari keturunan." Ucapku dengan kesal. Aku pun menyandarkan tubuhku di dada Ali.

"Gue udah persiapin matang matang sebelum milih lo. Lagian masalah anak kita bisa adopsi kan?" Ucap Ali dengan membelai rambutku.

"Ih apaan. Nafsu lo aja gede banget. Buktinya waktu itu lo sama gue itu apa? Kelihatan banget waktu itu lo jago banget. Pasti udah banyak main sama wanita lain." Ucapku yang bangkit langsung menuduh Ali. Ali pun hanya tersenyum sinis tanpa merasa bersalah.

"Gue ga pernah Fan. Sumpah cuma sama lo doang."

"Bohong. Buktinya lo jago banget." Ucapku dengan menatapnya tajam.

"Ya kan gue emang udah jago dari lahir Fan. Masak ga tau sih?" Ucap Ali dengan cengengesan. Aku pun hanya mendengus mendengar ia berbicara.

"Gue hebat ya Fan. Seharusnya bersyukur lo punya calon suami kaya gue." Ucapnya membisikiku. Aku pun memukulnya mendengar ia yang seenaknya bicara.

"Gimana mau ga?" Ucap Ali mengulang pertanyaan.

"Ga. Gue mau balik lagi jadi laki laki. Titik ga ada penolakan!" Ucapku dengan mengadahkan tanganku kemulutnya.

Perjalanan panjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang