Operasi

5.3K 71 9
                                    

Setelah kejadian itu. Ali pun mengajakku untuk menjalani proses operasi. Dengan didukung oleh ibuku dan keluargaku. Aku pun menjalani serangkaian operasi di Jakarta. Kebetulan Ali mempunyai sebuah kenalan dokter yang terbiasa dengan operasi kelamin. Sudah banyak pasien yang sudah ia tangani. Namun ia bergerak secara diam diam karena operasi kelamin masih hal yang cukup tabu di masyarakat.

Aku pun menjalani serangkaian tahap sebelum masuk ke meja operasi. Mulai dari terapi hormon, tes psikologi agar aku tak menyesal setelah operasi. Karena setelah operasi. Kelaminku tak akan bisa diubah kembali seperti semula. Jadi aku harus mempertimbangkan matang matang.

Aku pun sudah tak perduli dengan jati diriku yang dulu. Menurutku kehidupanku kedepannya adalah menjadi Fanny. Bukan Ilham.

Tibalah saatnya aku memasuki meja operasi. Perasaan takut pun menyelimuti diriku yang fobia akan proses operasi. Ketakutan ku bila tiba tiba aku terbangun ditengah proses operasi dan melihat segala hal yang tengah dilakukan dokter kepadaku.

Ali pun berusaha menenangkan ku dan kembali menyemangati ku. Membuat rasa takut pun hilang. Aku pun masuk ke ruang operasi. Perlahan kesadaran ku memudar seiring dengan perawat yang menyuntikan bius kepadaku. Aku pun tak ingat akan kejadian setelahnya dan akan tertidur beberapa hari setelahnya.

*
Aku pun terbangun. Ku dapati tubuhku yang mendapat berbagai perawatan. Ku lihat kelaminku yang sudah berubah menjadi wanita. Aku pun senang bukan main walaupun kelaminku belum pulih seutuhnya dan masih harus mendapat perawatan intensif.

Rasa sakit pun menjalar di sekujur tubuhku. Apalagi diarea kelaminku yang bagai di cabik cabik. Ku kuatkan tekad ku untuk menahan rasa sakit yang tak pernah kurasakan ini.

Suster yang merawat ku pun datang untuk memeriksa tubuhku. Ia pun terkejut dengan diriku yang sudah bangun setelah beberapa hari tertidur akibat pengaruh bius.

Ia pun memeriksa tubuhku. Sesekali ia menanyakan tentang apa yang kurasakan setelah bangun. Setelah itu ia pun keluar dan mengambilkan beberapa obat untuk pemulihan ku. Tak lupa ia mengabari Ali selaku orang yang menemaniku bahwa aku telah siuman. Ali pun datang menemui ku. Kulihat ia yang girang melihatku sudah bangun.

"Gimana rasanya? Masih sakit ga?" Ucap Ali yang datang menjengukku.

"Sakit banget Al. Tau gini aku ga mau operasi." Ucapku dengan ekspresi menahan sakit. Ali pun hanya mendengus mendengar ucapan ku.

Ali pun segera bergegas membelikan ku makanan. Ia menyuruhku untuk makan agar aku cepat pulih. Namun ku tolak karena tak nafsu makan.

"Al. Aku pengen ketemu ibu." Ucapku merengek dengan memegangi tangannya.

"Iya nanti ya. Ini gue juga lagi nyiapin buat acara nikahan kita. Jadi sabar dulu sambil nunggu lo pulih dulu." Ucap Ali mengusap usap tanganku.

"Hah. Nikah? Cepet banget. Kan kemarin baru lamaran." Ucapku yang kaget mendengar kata nikah.

"Salah emang. Gue kan pengen kita cepet nikah." Ucap Ali singkat. Aku pun hanya diam tak mau menanggapi. Rasa sakit yang aku derita membuatku tak bisa bergerak bebas. Bahkan untuk kencing pun aku sudah disediakan alat yang langsung mengarah ke kelaminku.

*

Hampir dua minggu aku dirawat untuk pemulihan pasca operasi ku. Ali yang selalu sigap dan menemaniku membuatku merasa sedikit senang di tengah rasa sakit pasca operasi.

Aku pun di perbolehkan pulang setelah kondisi tubuhku yang sudah membaik dan bisa untuk beraktivitas secara mandiri tanpa harus pengawasan dokter.

Aku pun merasa terlahir kembali menjadi sesuatu yang baru. Ku lihat pantulan diriku di cermin kamar mandi. Memperlihatkan tubuhku yang sudah berubah total. Ku lihat seorang wanita dengan tubuh proporsional. Dengan payudara yang kencang, wajah yang lebih feminim ketimbang dulu, ditambah dengan dua gundukan kecil di selangkanganku. Menggantikan burungku yang selama ini bertengger di sana.

Aku pun takjub dengan perubahan ku. Sebuah tubuh perempuan yang aku idam idamkan saat masih menjadi pria. Kini aku sendiri mempunyai bentuk tubuh itu.

Kini aku pun merasa lega saat berpakaian. Tak ada lagi yang mengganjal di selangkanganku. Membuatku lebih leluasa dalam bersikap feminim.

Ali pun tampak senang dengan perubahan ku. Tak jarang ia sering menggodaku karena melihatku yang terkadang membuatnya bergairah. Aku pun tak begitu memikirkannya. Walau ku tau bahwa yang kulakukan menimbulkan hasrat kepada laki laki yang melihatku. Namun semua itu ku tepis dan bersikap bodoamat.

Malam itu. Kami pun menginap di salah satu apartment milik kak novi di Jakarta. Perasaan lelah setelah berkemas untuk kepulangan kami besok ke kotaku. Membuatku ingin segera merebahkan tubuhku di kasur.

"Fan. Ayok dong!! Gue lagi pengen nih." Ucap Ali sambil menunjuk burungnya. Aku pun hanya menatapnya sinis sambil mengatur posisi untuk tidur.

"Fan. Pliss!! Kali ini doang kok." Ucap Ali dengan wajah memelas.

"Ih Ali. Kan aku udah bilang. Kalau mau kaya gitu tunggu setelah kita nikah. Masa kamu ga ngerti ngerti sih." Ucapku memarahinya. Ia pun tak bergeming dan terus memasang wajah memelasnya.

"Siapa suruh lo pakai baju kek gitu. Emangnya lo ga nyadar kalau lo sendiri suka buat gue jadi sange?" Ucap Ali menggerutu. Aku pun jadi kesusahan untuk tidur. Ku hadapkan tubuhku menghadap Ali yang masih terduduk di atas kasur.

"Nanti ya! Kalau kita udah sah. Terserah kamu mau ngapain sama aku." Ucapku berusaha membuatnya senang dan berhenti merengek kepadaku.

"Kelamaan Fan. Yaudah gue pengen main itu dulu deh." Ucap Ali sambil menunjuk payudaraku. Aku pun segera menutupi payudaraku dengan tanganku. Aku sadar bahwa aku tak memakai bra dan hanya terbungkus oleh kain tipis pakaian yang aku kenakan.

"Gamau. Aku mau tidur." Ucapku sambil berusaha memejamkan mata. Ali pun tampak kesal dengan sikapku yang tak mau menuruti kemauannya.

Akhirnya. Aku pun bangkit dan mengecup dahi Ali agar ia tenang dan tak mengganggu tidurku.

"Nanti ya sayang! Tenang ini milik kamu semua kok." Ucapku dengan ekspresi menggoda dan sambil menunjuk payudaraku. Ali pun kaget dengan tindakanku.

Ia pun terdiam sejenak setelah ku kecup. Mendadak ia kegirangan seperti orang gila. Aku pun menyuruhnya tenang karena tak enak jika kedengaran orang lain. Melihat hari yang sudah larut malam. Aku pun menyuruh Ali untuk tidur. Agar besok tidak kesiangan.

Perjalanan panjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang