Princess - Chapter 2.2

855 54 1
                                    

________________________________
____________________

C2.2 : Those Dark Blue Eyes

____________________
________________________________

Playlist : Zedd & Kehlani - Good Thing

Playlist : Zedd & Kehlani - Good Thing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

________________________________

Aku turun dari mobil setelah Grace membukakan pintu di lobi gedung penthouse. Kulihat sebentar petugas yang mengurus barang-barangku bersama Grace di belakang mobil sebelum melangkah memasuki gedung.

Getaran demi getaran terus terasa di genggamanku hingga aku memasuki elevator sejak mode pesawat pada ponselku kumatikan. Aku tidak tahu ternyata mengaktifkan mode pesawat selama hampir seharian akan membuat ponselku dihujani notifikasi.

Kubaca sekilas satu persatu notifikasi yang masuk. Kebanyakan dari brand-brand busana dan sahabat-sahabatku. Tidak ada dari Brian. Sepupu sialanku itu malah menghilang padahal letak kesalahan berada padanya.

"Benda ini tidak akan bergerak sendiri tanpa kau menekan tombolnya."

Suara itu.

Jantungku berdebar cepat saat aku mengangkat pandanganku dari ponsel, lalu mendapati laki-laki paling tampan yang pernah kutemui.

Mata biru gelapnya yang terbingkai alis tebal sempurna dan bulu mata panjang nan lentik menatapku malas. Aku hanya setinggi telinganya sehingga dia sedikit menunduk—sedikit sekali. Menandakan bahwa laki-laki di hadapanku ini tidak sudi untuk benar-benar menunduk pada siapapun. Arogansi seakan memancar dari setiap inci keberadaannya.

Kuakui, seharusnya aku merasa terintimidasi. Tetapi saat kulihat senyum samar terukir di bibirnya, entah mengapa aku malah merasa tertantang.

"Kebanyakan gadis memang lebih suka terpaku memandangiku daripada berbicara denganku."

Aku tersenyum miring. "52." Kali ini giliran dia yang terdiam. "Saat mataku terpaku, bukan berarti otakku juga akan terpaku."

Laki-laki itu terkekeh sebelum kemudian menekan tombol elevator dan pintu di hadapanku tertutup. Kujaga pandanganku lurus kedepan menatap pantulan diriku di kaca—hanya aku.

Waktu berjalan sangat lambat. Lebih lambat dari yang seharusnya. Aku tidak mau coba-coba melirik angka yang terus berubah di atas tombol-tombol. Itu sama saja dengan aku menoleh padanya.

Setiap detik yang berlalu semakin membuatku merasa terdesak. Ruang persegi ini terasa pengap. Aku tidak tau apa yang terjadi padaku. Tapi aku merasakan bahaya. Laki-laki di sampingku terasa berbahaya. Seakan jika waktuku bersamanya di dalam ruang sempit ini bertambah sedikit saja, aku akan meledak. Aku akan jatuh bebas ke dalam jurang.

THIS FEELINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang