Epilog

1.1K 40 18
                                    

________________________________
____________________

EPILOG

____________________
________________________________

Playlist : Clinton Kane - I GUESS I'M IN LOVE

Playlist : Clinton Kane - I GUESS I'M IN LOVE

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

________________________________

"Kendalikan dirimu nanti, S." Brian menepuk pundakku pelan, berusaha menenangkan sementara aku hanya diam. Seperti yang telah kulakukan selama beberapa jam terakhir.

Pemakaman kakekku berlangsung lancar. Kami semua berkumpul di Las Vegas tiga hari setelah kematiannya, tidak membicarakan kejadian itu, lalu bersiap untuk pemakaman. Rasanya menyakitkan, tentu saja. Bibi Tatia menangis meraung-raung saat kami akhirnya dapat melihat tubuh kakekku yang terbujur kaku.

Mungkin itu yang seharusnya kulakukan. Menangis. Tapi nyatanya, aku hanya berdiri di sana. Menatap kosong wajah pucat kakekku. Diam-diam berharap bahwa semua ini hanya mimpi buruk lain. Bahwa sebentar lagi aku akan membuka mata dan mendapati diriku berada di Spencers.

Satu persatu tamu berdatangan, mengucapkan bela sungkawa. Ibuku dan Saniza yang menyambut mereka semua dengan mata sembab. Sementara aku menjauhi kerumunan.

Aku tidak percaya satupun dari mereka. Bisa saja pembunuh kakekku berkeliaran di sekitar kami, memakai topeng orang-orang bermartabat dengan senyum palsu, memastikan pekerjaannya telah sempurna.

Sekarang seluruh anggota keluarga Clarke berkumpul di ruang keluarga mansion kakek dan nenekku. Bibi Tatia dan Saniza masih menangis, nenek dan ibuku terlihat sangat terguncang, Bibi Nina diam seribu bahasa, ayahku memejamkan mata, sedangkan Paman Marteen sibuk dengan scotchnya.

Hanya aku, Brian, Evan, dan Austin yang masih mempertahankan raut datar kami. Tidak menunjukkan emosi apapun. Mungkin karena memang diriku sekarang terasa kosong.

"Maaf kami terlambat, Tuan dan Nyonya Clarke."

Tiga orang pengacara memasuki ruangan. Satu berumur sekitar lima puluhan dan sisanya akhir tiga puluhan. Sama seperti kami semua, mereka juga masih mengenakan pakaian pemakaman.

"Tidak apa-apa, Tuan Specter." Kata Paman Marteen membalas permintaan maaf pengacara yang paling tua sembari mempersilahkan mereka duduk.

"Baiklah, kita mulai saja pembacaan surat wasiat yang ditinggalkan oleh Reĝo Joseph Clarke." Tuan Specter membuka tas yang dibawanya, mengeluarkan beberapa lembar kertas, sebelum kemudian membacakan kalimat-kalimat pembuka yang tidak sepenuhnya kudengarkan.

Menit demi menit berlalu. Semua ini terasa salah. Seharusnya kami sedang berduka. Mengenang kakekku semasa hidup. Bukan membagikan hartanya. Aku berani sangsi kakekku tidak akan menyukai hal ini.

THIS FEELINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang