Delapan Belas

106K 16.2K 928
                                    

Araya tidak tau mengapa dia berada di posisi ini.

Matanya menatap sekitar; hawa mencekam terasa sangat kental memenuhi ruang makan rumah Devan hari ini. Floren juga merasakan rasa ketakutan, apa lagi kali ini--------dia adalah penyebab utama dari kemarahan dari Papa Devan.

Mata Araya bergulir menatap Niko yang mencengkram erat sendok, cowok itu terdiam dengan wajah mengerikan. Araya ingin kabur saja rasanya. Kenapa dia harus terjebak begini sih?!

"Sepertinya otakmu sudah mulai rusak Vano,"

Papa Devano; Arvin, mengelap sudut bibirnya menggunakan tissue. "Memilih wanita tidak jelas dan berani membawanya ke rumah ini. Menghabiskan uang jutaan hanya untuk kekasihmu itu, jangan bercanda Vano..."

Devano hanya bisa terdiam. Terutama Floren, dia sudah mendapat banyak nilai minus dari keluarga Devano. Sedangkan Araya...dia melirik Niko di sebelahnya, untungnya wajah cowok itu sudah mengendur, tidak sekeras tadi.

"Cukup. Sebenarnya apa salah Floren ke Papa?"

Ucapan Devano membuat Arvin menggeleng miris, "Benar-benar anak bodoh, memang pantas saya lebih mengutamakan Niko dari pada kamu--------anak saya sendiri."

Tuhan,

Araya hanya ingin pulang.

Tidak mau mendengar keributan antar keluarga seperti ini, jangan sampai juga namanya terbawa arus; pasalnya Araya memiliki firasat tidak enak.

"Saya harap kamu menemukan perempuan seperti Araya di dunia ini ketimbang memilih perempuan di sampingmu itu."

Araya, sangat amat ingin pulang.

2 jam sebelumnya...

Susan bangkit berdiri, sebentar lagi suaminya akan pulang. "Kalau gitu Mama mau masak untuk makan malam, kalian lanjutin aja mainnya." Ujar Susan.

Mereka semua mengangguk mengiyakan. Susan melangkah menjauh meninggalkan ruang tamu menuju dapur, setelah kepergian Susan, barulah Araya memelototi Niko.

Bantal sofa yang berada di atas pahanya dia pukul ke wajah Niko, untung saja cowok itu memiliki reflek bagus. Sebelum mengenai wajahnya, dia sudah terlebih dahulu menghindar. "Kalem dong, Ay."

"Kalem pala lo petak. Sini batang leher lo, Niko..."

Niko segera menghindar lagi dari lemparan bantal Araya, sedari tadi cewek itu sudah menahan kesal akan sikap sesuka hati Niko. Apa-apaan mengaku-ngaku sebagai kekasihnya. "Emosian banget pacar gue," Niko lagi-lagi menjahili.

"P--pacar....Niko setan sini lo, jangan kabur!"

Araya segera mengejar Niko yang berlari mengelilingi ruang tamu, mereka sekarang berhadap-hadapan dengan sofa tempat Devan dan Floren duduk. Mata Araya hanya fokus kepada Niko yang berdiri bersedekap, rasanya Araya ingin memanjat sofa tersebut dan menangkap Niko sesegera mungkin.

"Araya; kamu ga sopan..." ujar Floren.

Mendengar perkataan Floren--------Araya jadi kehilangan mood untuk menghajar Niko. "....ini rumah orang Araya."

Alis Araya menukik, sedangkan Floren; dia tersenyum remeh entah karena apa.

"Padahal kamu anak keluarga Kesuma, harusnya mencerminkan hal-hal baik dong."

(...anak sialan.)

Di dalam sana, Araya nampak tersulut emosi atas perkataan Floren. Berbeda Araya saat ini hanya menatap dingin kepada Floren. Niko mulai merasakan perasaan akan ada perkelahian sebentar lagi jika dia tidak segera menghentikannya.

Hei, Araya! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang