Dua Puluh Dua

111K 16.9K 2K
                                    

Ini udah balik ke masa sekarang ya^^

Arga masih sibuk berkeliling mencari keberadaan Araya, melewati beberapa kelas, mengecek satu persatu gudang sekolah hingga dia sampai ke rooftop.

Tempat terakhir yang belum dia lihat. Keringatnya bercucuran, sebab Arga benar-benar tak melewatkan satupun ruang di sekolahnya, tempat membolos saja dia periksa satu persatu. Dia menaiki tangga, membuka pintu kayu dan menatap sekitarnya.

Di sana Arga dapat melihat seorang pria sedang duduk seraya membaca sebuah buku, gerakan membalik setiap halaman terlihat elegan; cara duduknya saja terlihat sempurna. Dari sini Arga dapat mengenali orang tersebut.

Awalnya Arga akan berbalik karena merasa Araya tidak ada di sini, namun...untaian rambut hitam nampak menunjukkan wujudnya dari sofa di hadapan pria itu. Mau tak mau Arga berhenti sejenak memperhatikan rambut hitam terjuntai itu, tetapi hanya sebentar saja.

Mengambil inisiatif, Arga menghampiri berharap bahwa rambut panjang itu milik kembarannya; Araya.

"Halo Arga," sapa Axel tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku yang sedang dia baca.

Arga melirik pemuda di depannya, "Ketua Osis, ga usah sok akrab." Desisnya malas. Tatapan Axel berubah serius, menutup bukunya lalu menatap sepenuhnya ke arah Arga. "Peringatan gue terlalu sepele buat lo?"

"Berhenti usik Araya lagi." Decak Axel. Selama ini menjadi penonton saja ternyata tidak terlalu asik, oleh sebab itu sedikit demi sedikit pula Axel ikut memperingati satu persatu orang yang berpotensi menyakiti Araya.

Sementara Axel menatapnya sedikit tajam, Arga  malah salah fokus pada wajah tertidur Araya; terlihat polos di matanya. Kelopak mata Araya menutupi mata indahnya, bulu mata lentik ikut bergoyang ketika semilir angin menyapu, pipi putih sedikit kemerahan, alis tebal dan terakhir adalah bibir kemerahan milik Araya.

Tiba-tiba Arga memiliki perasaan ingin sedikit saja mengecup bibir cewek itu.

Axel sadar akan tatapan obsesi Arga lantas menarik pemuda itu menjauh dari radar Araya. Pancaran dari mata Arga bukan seperti menatap saudaranya melainkan orang yang ingin dia miliki--------Axel tak habis pikir. Mengerikan sekali Arga jika dia memiliki obsesi seperti itu.

"Turunkan pandangan lo sialan." Kata Axel tegas.

Arga menggertakkan giginya pertanda emosi. Menghampiri Axel; Arga segera menarik kerah cowok itu membuat mereka saling berhadapan dengan jarak lumayan dekat. Saling tatap, melemparkan permusuhan kental di sana.

Araya mendengar keributan membuka matanya. Membawa duduk tubuhnya lalu menatap dua pemuda di depannya kaget, nyawa yang tadinya masih melayang entah kemana langsung terkumpul, "Arga lo agresif banget." Papar Araya kaget.

Menggeleng kepalanya, Araya memeluk diri sendiri karena geli. Arga dan Axel saling mendorong, menjauh sejauh mungkin. Pertanda tidak baik, Araya salah paham!

Bagaimana bisa Araya berpikir seperti itu. Menghiraukan mereka berdua, Araya menguap seraya mengucek matanya, padahal masih ingin melanjutkan tidur tetapi terganggu akan kehadiran Arga dan Axel.

Tak menanyakan lebih lanjut, Araya memakai tasnya lagi serta membawa jaket Niko di pelukannya. "Lanjutin aja kegiatan tadi, gue cabut."

Kesalah pahaman Araya masih berlanjut. Tanpa mereka bisa memberi klarifikasi lebih lanjut.

-o0o-

Araya kembali ke dalam kelas, dia hanya menatap lurus ke depan tanpa menghiraukan seisi kelas yang diam membeku. Araya duduk di kursinya, mengambil buku dari dalam tas; memilih untuk membaca saja, hitung-hitung menambah ilmu.

Hei, Araya! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang