"Hm hm hm, enak banget,"
Araya bergumam enak sembari terus menggigit tusuk satenya, mengunyah daging kambing lembut yang menjadi langganan.
Viano diam-diam kembali memesan tambahan untuk putrinya itu, jika melihatnya makan seperti ini Viano jadi teringat akan masa mudanya dulu. Ketika mata Viano melihat sekeliling, dia menangkap beberapa orang suruhannya bersembunyi dengan teratur seketika senyum tipisnya terbit. Araya sudah aman.
"Mau bicara apa tadi Om?" Karena keasikkan makan, Araya sampai lupa tentang tujuan mereka makan di sini. Namun Viano hanya tersenyum, mendorong piring berisi sepuluh tusuk sate lagi kepada Araya, cewek itu mengernyit, menerima piring tersebut dan lanjut makan.
Suara kekehan terdengar, pelakunya tentu saja Viano, merasa lucu ketika Araya seakan menolak tetapi nyatanya menerima lapang dada.
"Makan dulu, nanti bakal saya jelasin."
Di sela kunyahannya Araya segera menjawab, "Ga akan kelar kalau dari tadi Om nyodorin piring ke Aya!" Jawabnya kesal.
Viano semakin tertawa, kesal tapi tetap saja di makan. Mendengar suara tawa Viano alhasil menghentikan kegiatan Araya, diam-diam dia memperhatikan lekat fitur wajah pria di depannya, entah mengapa Araya merasakan perasaan akrab di hatinya.
"Om kalau ketawa gini, rasanya Aya pengen bilang 'review sugar daddynya dong' astaghfirullah."
Mendengar celotehan anak itu membuat Viano semakin tertawa, ada-ada saja anak kecil ini. Melihat hal tersebut, hati Araya lagi-lagi terasa aneh, menepis hal tersebut dengan cepat Araya menghabiskan sate terakhirnya.
Air hangat di atas meja segera Araya minum.
"Sekarang Om mau bicara apa?"
Sebelum berbicara, pria itu berdehem singkat, menatap lekat-lekat ke arah anak semata wayangnya itu.
Tangan Viano terangkat, mengambil sate dari piringnya, memasukkan benda tersebut ke mulut Araya. Rasanya menyenangkan melihat anak itu makan tepat di hadapannya.
"Saya bingung mau berbicara dari mana," ujarnya seraya terus menyuapkan makanan ke dalam mulut Araya membuat bibirnya mengerucut sebal.
"Saat Arun hamil dulu...rasanya saya jadi manusia paling bahagia di muka bumi hingga bingung wajah seperti apa yang harus saya tunjukkan."
Mulut Araya menggembung, fokusnya sekarang terbelah menjadi dua bagian, satu guna mengunyah serta satunya lagi memahami maksud dari cerita Viano.
"Tetapi saat umur kandungan Arun menginjak delapan bulan; seseorang menyelakainya dan memaksa saya memilih antara anak atau Arun."
Lama kelamaan suara Viano tampak melemah tetapi mata pria itu terlihat menyimpan dendam mendalam, "Kamu tau? Saya harus bisa merelakan malaikat perempuan kecil itu di asuh oleh Arum, dengan menukar anaknya dengan anak saya."
Untung saja makanan di mulut Araya sudah ia telan, kalau tidak akan panjang urusannya.
"Oppp, sebentar...."
Mengedipkan matanya beberapa kali, "Jadi---secara ga langsung Om mau bilang kalau Aya bukan anak Bunda?"
"Lah aku anak siapa jadinya?!"
Araya syok, sedangkan Viano malah tertawa melihat reaksi anaknya itu, "Tentu saja kamu anak saya Aya, anak Viano dan Arun," masih sisa-sisa tertawa akhirnya Viano menjelaskan.
Araya terdiam, hening, tak bersuara. Melakukan kontak mata pada Viano, seketika pria itu menunduk sedih, "...maaf, harus memiliki orang tua seperti saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, Araya! [End]
Ficção AdolescenteYang engga vote, durhaka kalian...masuk neraka jalur vvip🙏 [Chapter lengkap] __________________ Selesai mengerjakan skripsi, Rana merebahkan tubuh di atas kasur sederhananya. Sebelum dia terlelap merehatkan tubuh; Rana menyempatkan diri untuk memba...