Lima Puluh Tujuh

55.5K 7.2K 1.4K
                                    

Setelah tenda di bangun, seluruh siswa mau pun siswi mulai di himbau untuk berbaris rapi dan mendapatkan arahan dari guru. Setelah membubarkan barisan, mereka semua kembali masuk dalam tenda masing-masing kemudian membongkar satu persatu barang dari dalam tas.

Araya terlihat sudah lelah, dia sangat ingin tidur di atas kasur empuk lalu menghidupkan AC kamar baru tidur menikmati namun sialan sekarang ia harus berada di tengah hutan seperti sekarang, memelototi Bela dan Eka sejenak; menyalurkan rasa kesalnya.

Bela membuang wajahnya begitu juga Eka yang pura-pura membongkar tas guna menghindari pelototan dari Araya.

Entah karena merasa bertanggung jawab atas Araya, alhasil Bela mengalah untuk membereskan barang milik Araya, ketika matanya terpaku pada tas berisi snack seketika Bela menoleh, "Gue kira ga bakal lo bawa."

Memutar bola matanya, "Gue males lo bacotin."

Senyum sinis terbit dari bibir Bela.

"Halah, alasan aja."

Eka duduk di sebelah Araya kemudian ia bergumam, "Perasaan gue aja atau emang Radit ga kaliatan dari tadi?"

Araya yang baru saja ingin memainkan ponselnya terhenti, Bela juga ikut terdiam seakan baru sadar jika sedari awal memang belum melihat wujud Radit.

"Iya juga, pantesan gue merasa adem anyem. Jia, Dena juga ngehindar terus 'tuh."

"Malu 'lah, malaikat bersayapnya ternyata penipu. Kalau gue pasti mending bunuh diri aja," sahut Araya malas. Setelah semuanya, mana mungkin mereka berani menampakkan diri lagi?

Jika bukan karena malu maka mereka takut akan di amuk oleh Araya atau Bela. Label buruk di belakang nama dua gadis itu mereka dapat bukan tanpa alasan loh, jika mengingat kelakuan ganas Araya beberapa waktu ke belakang saja sudah membuktikan segalanya. Bela memang tak seganas Araya namun seram juga jika mendapat tamparan dari gadis itu.

Belum lagi betapa pedasnya omongan mereka.

Jadi dari pada mendapat masalah, lebih baik menghindarinya saja.

Tiba-tiba saja dalam keheningan sebuah kepala menyembul masuk mengintip tak lupa seulas senyum terbit dari wajah tersebut. Belum sempat para gadis bereaksi dua pemuda lainnya menyelonong masuk tanpa ijin, Bela berdesis kuat-kuat.

"Aku masuk, ya, sayang." Niko berkata meminta ijin, seolah sudah biasa; Araya mengangguk menyetujui dan barulah Niko ikut masuk.

"Widih, banyak betul makanan!" Seru Saka semangat. Mendengarnya membuat Bela buru-buru menyembunyikan tas snack ke belakang tubuhnya.

"Modal dong, dasar krupuk seblak." Sungut Bela.

Saka mencebikkan bibirnya, entah semenjak kapan Bela selalu memanggilnya 'krupuk seblak' seingatnya  ia tak pernah membuat salah pada Bela.

"Kok sama mereka?" Araya bertanya menghiraukan keributan Saka dan Bela, bahkan Eka ikut melerai temannya itu agar tak menarik rambut Saka. Niko memiringkan kepalanya sedikit, "Mereka ikutin aku tadi."

"Keluar cari angin yuk, aku nemu tempat adem." Ajak Niko.

"Tempat mojok maksud lo?" Sewot Bela seraya melototi Niko. Pemuda itu merubah raut wajahnya menjadi tanpa ekspresi, "Bukan urusan lo," desis Niko pelan---tak mau Araya mendengarkan nada dinginnya.

Bela terpaku, jantungnya berdegup kencang melihat sisi lain dari Niko...atau bahkan sisi aslinya?

"Nik?" Panggil Araya memastikan, "Barusan ngomong apa?"

Niko mengalihkan pandangan seketika raut wajahnya berubah sepersekian detik, tersenyum seperti orang bodoh, "Aku diem aja kok."

Araya ragu tetapi hanya mengangguk mengiyakan saja, tak perlu memperpanjang lebih lagi. Kini ia berdiri menyusul Niko, "Gue keluar dulu, jangan berbiat maksiat di tenda kita." Peringatnya.

Hei, Araya! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang