Araya berjalan melusuri koridor dengan mata ngantuk, tak terbantah----dia benar-benar bergadang demi menyelesaikan struktur calon bisnisnya. Mata sayunya semakin menyipit tipis, untung saja dia tidak terlambat.
Koridor ramai seperti biasa, namun Araya tidak perduli dan melihat-lihat ruangan untuk sejenak sebelum dia berhenti menatap ruangan musik. Araya menguap; dia memasuki ruangan musik dan berjalan menuju salah satu sofa di sana-----merebahkan tubuh dan tak lama dia terlelap.
Tasnya dia jadikan bantal, kakinya meringkuk seperti udang, nafas teraturnya berhembus mengisi kekosongan ruangan. Seorang pria yang sedari duduk di dekat piano memperhatikan adegan itu semua dalam diam, bibirnya tersungging senyum tipis.
Pria itu mendesah----menahan tawanya. Perempuan macam apa Araya ini?
'Lo beneran beda.' Batin pria itu merasa menarik.
Dia menyilangkan kakinya sembari terus memperhatikan ketidakberdayaan Araya, tangan cowo itu memperagakan seakan dia menggenggam tubuh Araya dan meremasnya.
"Ahhh... gue makin suka sama lo." Gumam pria itu.
Araya merasakan ada selimut tebal menutupi dirinya seperti menyuruh Araya untuk semakin terlelap; tentu saja Araya mengeratkan selimut tebal tersebut. Rasanya hangat dan nyaman, aroma dari selimut seperti pepohonan yang segar.
"Hngg... makasih...." Katanya pelan, pria yang baru saja menyelimutinya terkekeh, tangan pria itu mengarah mengusap surai rambut Araya. "Hmm... sama-sama." Balasnya.
Kembali duduk di tempat semula; cowok itu duduk kemudian dia membuka buku yang selalu dia bawa kemana pun. Mempertahankan suasana hening, hanya suara kertas terbuka dan hembusan samar-samar Araya yang terdengar.
Pintu ruangan musik terbuka, menampilkan seorang pria jakung----menatap dirinya aneh lalu mengarahkan tatapan matanya ke Araya. Bibir merahnya hendak berbicara tetapi segera tertutup lagi ketika pria yang memegang buku meletakkan jari di bibirnya.
Saling pandang sebentar, "Xel jadwal lo keliling." Kata pria yang baru saja datang dengan sepelan mungkin.
Pria yang di panggil 'Xel' tersebut berdiri, menatap sekilas pada Araya lalu memaksa temannya untuk keluar dari ruangan musik. "Jangan di ganggu." Perintahnya.
-o0o-
Mata Araya terbuka pelan, menatap pada ubin ruangan aneh yang dia lihat, hampir saja Araya berteriak ketika dia ikut melihat layar ponselnya. Jam menunjukkan angka sepuluh pas; berarti Araya sudah bolos setengah kelas. Mengusap wajahnya kasar----segera dia bangkit.
Sebuah selimut terjatuh, kepala Araya miring sedikit sebelum dia mengambil selimut lucu bergambar wortel.
"Lucu..." katanya sembari tersenyum, mata Araya menatap sekeliling ruangan dan tidak menemukan siapapun selain dirinya, mengambil keputusan----Araya akan membawa selimut ini bersamanya. Juga.... dia tidak memiliki niat untuk mencari pemiliknya kelak, salah sendiri, mengapa meninggalkan barang selucu ini kepada Araya.
"Sorry buat siapapun pemilik selimut ini, soalnya gue bakal jadiin hak milik." Gumamnya.
Araya mengambil tas sekolahnya, dia juga melilitkan tubuhnya sendiri di selimut sembari menghirup dalam-dalam aroma pepohonan segar ini. "Ngga bakal gue balikin." Tekadnya.
Setelah meletakkan tas ke dalam kelas, Araya sekarang berjalan menuju kantin; masih dengan tubuh terbungkus selimut. Seperti bundelan kain berjalan.
Setibanya di kantin, dia segera berjalan menuju tempat Bela berada.
"Buset, lo kemana aja woy? Gue cari di kelas malah ga ada."
Araya diam, menatap bakso di mangkok Bela kemudian dia merebut paksa sendok di tangan Bela dan menyuapkan bakso ke mulutnya.
Bela terperangah, "Bakso gue!" Sentah Bela tak terima, Araya menjulutkan lidahnya lalu menguyah bakso Bela. "Bel... peseni dongg...." pujuk Araya. Bela mendengus, "Gue pesen dua, tapi lo yang bayar."
"Makasih Bela...."
Bela beranjak, meninggalkan Araya sendirian sembari memainkan ponselnya. Hingga suatu suara tepat berada di sebelahnya, "Poin ke disiplinan lo bakal gue kurangin, dan kembaliin selimutnya." Bisik seseorang tepat di telinga Araya.
Sontak saja gadis itu berjengit kaget, menoleh cepat kepada pria tidak di kenalnya itu----menjaga jarak. Tangan Araya segera mengelus tengkuknya; merinding.
"Selimutnya, kembaliin." Cowok itu tersenyum lembut, dia melipat matanya hingga membentuk bulan sabit yang indah.
Araya tersentak sekali lagi, tiba-tiba perasaan dingin menyebar di balik punggungnya, tulang-tulangnya sedikit ngilu. 'Siapa,' batin Araya meringis dalam hati.
(Ketua Osis)
Gumaman tersebut melintasi isi kepala Araya.
Tubuh Araya membeku seketika, dia tidak bergerak sambil menatap cowok yang bername tag Axel Ocean Gionino. Tetapi... bukan hanya merinding saja yang membuat Araya kaku, suara asing tadi juga menjadi alasan utama Araya terdiam seperti ini.
Suara ini.... baru pertama kali Araya dengar.
Axel menjentikkan jarinya di wajah Araya----menyadarkan cewek itu dengan segera. Axel tersenyum lagi, dia mengambil duduk di sebelah Araya; menatap lembut padanya membuat Araya semakin menjadi-jadi.
"Gimana bolos setengah harinya?"
Pertanyaan Axel membuat Araya menoleh lagi padanya, "Biasa aja." Balas cuek Araya.
Axel mendengus geli, "Biasa aja, hah...."
"Siapa tadi yang tidur di ruangan musik sambil mendengkur, ya?"
Bola mata Araya bergetar, ini... dia sedang menghina Araya, bukan?
"Julukannya malaikat pencabut nyawa Erlangga, suka partisipasi dalam buku hitam Osis, tiada hari tanpa di hukum, baju---"
Tangan Araya segera membekap mulut Axel, wajah Araya memerah sampai menyentuh telinganya. Padahal itu bukan kelakuan Araya sekarang tetapi Araya dulu namun Araya sekaranglah yang malu. Mata Axel membulat kemudian dia memejamkan mata menikmati aroma vanila dari tangan Araya.
"Udah diem... ga usah di ingetin,"
"Gue malu..."
Akibat perkataan Araya, mata Axel kembali terbuka lebar----menatap wajah malu Araya lekat. Aneh... jantung Axel semakin berdebar saja.
"Ini gue lepasin, tapi diem aja, oke?"
Axel tanpa sadar mengangguk. Araya melepaskan bekapan tangannya; Axel juga merasakan aroma vanila segera menghilang perlahan dari penciumannya, tanpa bisa di tahan----tangan Axel menarik kembali tangan Araya, menahannya tepat di depan wajahnya.
Belum sempat Axel menghirup aroma vanila dari tangan Araya, seseorang sudah terlebih dahulu menepis tangannya. Araya dan Axel menoleh dengan reaksi berbeda, Araya menatap terkejut dan Axel menatap dingin nan tajam.
"Jauhin tangan lo dari Araya!"
Di sana,
Arga berseru penuh emosi.
.
.
.
.Bersambung...
Vote Hyung, atau kmu ak jedotin ke dinding(≧▽≦)

KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, Araya! [End]
Fiksi RemajaYang engga vote, durhaka kalian...masuk neraka jalur vvip🙏 [Chapter lengkap] __________________ Selesai mengerjakan skripsi, Rana merebahkan tubuh di atas kasur sederhananya. Sebelum dia terlelap merehatkan tubuh; Rana menyempatkan diri untuk memba...