Enam

168K 20.6K 1K
                                    

Sehabis kejadian malam tadi, baik Arga maupun Araya hanya saling diam; melemparkan aura dingin yang amat kentara di antara para pekerja rumah mereka. Araya meminum habis susu dan memasukkan roti ke dalam mulutnya, tanpa bicara lagi dia langsung beranjak pergi.

Memakai sepatu di teras rumahnya sembari menunggu sopir untuk memanasakan mobil. Tak lama Arga muncul membawa dua helm, meletakkan di meja sebelah Araya satu dan satunya lagi segera dia kenakan.

Araya melirik sekilas, ketika hendak berdiri; matanya menyipit melihat kehadiran seseorang dengan motor hitamnya, orang tersebut membuka helm--lantas Araya segera menghampiri. Menghiraukan tatapan tajam Arga mengarah ke punggungnya.

Mereka berbincang sejenak, lalu Araya menerima helm hitam senada dengan milik cowok itu.

"Pak Anto, saya berangkat sama temen aja." Katanya kepada sopir keluarga mereka dan segera di angguki oleh pria tua tersebut.

Helm sudah terpasang di kepala Araya, kini Niko segera melepaskan jaket kebanggaan miliknya dan memakaikan ke pinggang Araya, lantas perlakuan tersebut membuat cewek itu membeku. "Nafas Ay." Bisik Niko menggoda.

"Apaan sih gajelas." Sembur Araya.

"Apaan juga lo mau repot anterin gue gini?!" Sambung Araya.

"Gue punya feeling kalau lo bakal butuh pertolongan." Niko menjawab penuh percaya diri.

"Ga jelas banget." Kali ini Araya mencibir, lelah juga menghadapi sikap absurd Niko.

Niko membantu Araya naik ke motornya lalu pergi meninggalkan halaman rumah besar Araya, membiarkan satu orang pria menahan emosi di sana. Araya lebih memilih orang lain ketimbang dirinya.

Selama di perjalanan hanya ada keheningan--lima belas menit kemudian motor sport Niko berhenti di depan gerbang sekolah.

"Nanti gue jemput." Niko mengingatkan sembari menerima kembali helmnya.

"Ga usah, nanti gue sama sopir aja." Araya menolak seraya membuka ikatan jaket denim warna hitam dengan logo TheBlood di belakangnya serta tulisan leader di bagian dada sebelah kiri menandakan bahwa jaket ini adalah milik ketua.

Tangan Niko menghentikan pergerakan Araya, "Bawa aja. Nanti gue jemput." Tegas Niko tak mau di bantah lagi. Keras kepala, pikir Araya.

Belum sempat Araya menjawab, Niko sudah duluan melajukan kendaraan roda duanya menuju jalanan. Bibir Araya mencebik, sumpah serapah dia lontarkan pada oknum keras kepala itu.

Menenteng jaket Niko tadi, suara desahan Araya terdengar depresi.

"Liat ada orang gatel lewat."

"Dena... masih pagi."

Hendak melewati tempat berkumpulnya tokoh penting dalam novel, telinga Araya menangkap suara menjijikan melintas; tentu saja dia adalah Dena si pemeran pembantu dalam menaikkan pamor Floren.

Idiot. Batin Araya miris.

"Kenapa coba dia ga mati aja, unfaedah banget." Sahut Jia.

Kali ini langkah Araya terhenti, ingin tertawa rasanya. Lihatlah, kumpulan manusia idiot itu hanya bisa terdiam sembari menunggu tontonan.

Araya mendekati Jia membuat gadis berambut pendek itu melangkah mundur, ketika dia sudah berada lima centi dari Jia; Araya menusuk pandangan dingin langsung bola mata Jia. Radit melangkah mendekat untuk menghadang Araya.

Hei, Araya! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang