Mobil mewah Viano berhenti tepat di depan gerbang rumah, Araya turun dari mobil sembari mengucapkan terima kasih.
Tadi proposal miliknya langsung Viano ambil alih, katanya ia akan benar-benar mengurus sisanya, Araya hanya perlu menunggu dan nanti menikmati hasil saja. Araya jadi merasa dia memiliki sugar daddy jika perlakuan Viano yang royal. Emang peran seorang Om memang seperti itu ya?
Setelah melihat kepergian mobil Viano, Araya bertanya-tanya, apa memang benar seperti ini peran keluarga itu? Jujur saja dia tak tau, bagaimana mau tau; Rana saja anak panti asuhan, tidak memiliki kerabat atau keluarga, hanya memiliki diri sendiri saja. Araya salut, ternyata mempunya keluarga ada manfaatnya juga.
Melangkah ringan memasuki rumah, Araya melihat ke kanan dan ke kiri, kemudian melanjutkan memasuki rumah.
Plakk
Kepalanya lantas menoleh ke arah kiri, kaget, benar-benar kaget, Araya baru saja memasuki rumah. Mendongak sembari memegang pipinya, menatap pelaku yang baru saja menamparnya; Arum menatap penuh penghinaan, matanya bersinar jijik, wanita itu menurunkan tangannya. Wah, melihat ini jiwa Rana bergetar ingin segera membalas tamparan Arum.
Sudah di bilang bukan bahwa dia memiliki prinsip mata di balas mata, darah di balas darah.
Tangan Araya mengepal, menahan emosi, serta ia harus ingat bahwa wanita di depannya adalah Ibu dari pemilik tubuh ini. Jika tidak, maka sudah Araya tampar balik wanita itu.
Arum terlihat semakin marah ketika Araya dengan berani menatap langsung wajahnya seperti sekarang, biasanya anak itu akan menundukkan kepalanya dan memohon ampun. Namun sekarang, dia malah menatap tajam padanya.
Tangan Arum terangkat kembali, ingin hati menampar pipi Araya satunya lagi. Ketika hendak melayangkan tamparan, Araya segera menangkap pergelangan tangan Arum, lalu tanpa Arum ketahui Araya mengangkat tinggi-tinggi ponselnya untuk mengambil bukti.
Pipi sebelah kanan Araya masih terlihat memerah bahkan sedikit membengkak, Arum menatapnya kaget, wanita itu melotot; tangannya ingin dia tarik tetapi entah mengapa tenaga Araya sangat kuat menahan tangannya. "Bunda....cukup," desis Araya.
Perlakuan Arum tidak akan mendapat toleransi lagi dari Araya, sebab pemilik tubuh ini sudah Rana, seorang gadis yang tidak suka akan kekerasan. Pasalnya Rana tidak bisa membalasanya.
"Apa Bunda mau Aya lapor ini ke Ayah?" Sambung Araya, kini dia menggoyang-goyangkan ponselnya ke depan wajah Arum.
Setelah melihat Arum terdiam kaku, baru Araya menghempaskan cengkeramannya. Arum menusuk telapak tangannya menggunakan kuku tajam miliknya, bagaimana mungkin Araya berani membalas seperti ini.
Dari mana keberanian anak bau kencur itu!
Arum lekas berbalik meninggalkan Araya di belakang yang saat ini menyeringai jahat, 'Araya lo liat? Mental Bunda itu bakal terguncang kalau pake ancaman dikit.'
(....kok lo ga takut?)
Mendengar perkataan kagum dari Araya, senyum tipis merekah, mana mungkin ia takut oleh perlakuan seperti itu, hidup di panti asuhan lebih keras dari pada perlakuan Arum, "Kehidupan gue dulu lebih keras." Ujar Araya sambil menutup pintu kamarnya.
Meletakkan tas ke atas meja belajar, Araya juga membuka dasi yang melilit lehernya seharian, membuka satu persatu kancing seragam hingga menyisakan tanktop hitam.
(Keluarga lo lebih kejam?)
Pertanyaan Araya tidak salah, namun hatinya sedikiy tersentil. "Gue ga punya keluarga." Menjawab lagi, kali ini ia merebahkan tubuh di atas kasur. Menatap langit-langit yang di hiasi burung bangau menggantung.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, Araya! [End]
Teen FictionYang engga vote, durhaka kalian...masuk neraka jalur vvip🙏 [Chapter lengkap] __________________ Selesai mengerjakan skripsi, Rana merebahkan tubuh di atas kasur sederhananya. Sebelum dia terlelap merehatkan tubuh; Rana menyempatkan diri untuk memba...