Kembali ke tempat duduknya, Araya menyilangkan kaki; menatap lurus ke depan. Senyuman miliknya tadi sirna, sekarang dia hanya menunjukkan wajah kebosan semata.
Abel sendiri langsung di tarik oleh seorang pemuda menjauh dari Araya.
Bertepatan Arga memasuki kelas dengan nafas memburu. Setelah di tinggal Araya tadi, Arga sempat beradu argumen dengan Axel, si Ketua Osis tukang ikut campur itu.
Dia menatap seisi kelas untuk menilai suasana berat yang entah apa penyebabnya, terlihat juga para siswi memalingkan wajah ketika beradu tatap; Arga melirik Saka meminta penjelasan namun pemuda itu menggeleng seraya menaikkan bahunya.
Arga berusaha menetralisirkan nafas agar menjadi lebih teratur, barulah dia mengalihkan pandangan pada Araya, menatapnya sendu penuh penyesalan.
Entah sejak kapan rasa bersalah mulai menghampirinya, mungkin saja.....semenjak perempuan itu bangun dari pingsannya dan satu persatu perubahan mulai terlihat semakin jelas. "Araya....kita perlu bicara." Pinta Arga penuh harapan.
Tetapi Araya tidak bergeming, malahan dia kembali membuka buku untuk di baca, pura-pura tak mendengar suara Arga. Akhirnya Arga pasrah, duduk di tempatnya semula di sebelah Radit.
Menjadikan punggung Araya sebagai pusat perhatiannya untuk beberapa saat. Terkadang Arga merasa bahwa tubuh Araya di isi oleh jiwa lain pasalnya perubahannya terlihat sangat kental.
Beberapa saat kemudian, munculah seorang wanita cantik memakai kaca mata. Guru mata pelajaran paling di minati seantero sekolah itu tersenyum cerah, mengusir suasana berat kelas XI IPA1 ini.
Beberapa orang murid baru bisa bernafas lega, pasalnya sedari tadi mereka menahan mati-matian perasaan tidak nyaman akibat perbuatan dari Abel dan Araya tadi, bahkan Arga di awal saja sudah membuat suasana berantakan.
"Mari kita mulai pelajarannya anak-anak...."
-o0o-
Bel istirahat berbunyi, memberi tanda bahwa sekarang adalah saatnya memberhentikan aktivitas pembelajaran. Bagi para murid, bel ini di namakan panggilan surga. Sebab hampir keseluruhan para murid membutuhkan rehat sejenak dari pembelajaran yang membuat otak sedikit lebih panas.
Begitu pula Araya, dia langsung menidurkan kepalanya di atas meja, mengarahkannya menghadap jendela. Araya memejamkan mata menikmati angin sepoi-sepoi menerpa kulit wajahnya. Rasanya sungguh malas beranjak dari surga kecil ini, walau perutnya sudah mengamuk sedari tadi tetapi kaki Araya terlalu mager untuk sekedar berdiri.
Araya menguap ngantuk, rasa ingin tidur tiba-tiba menghampiri tetapi dia juga lapar. Seandainya ada seorang malaikat menyuapi makan ke mulutnya saat ini, jadi Araya tak perlu repot-repot untuk pergi ke kantin lagi.
Ponsel Araya bergetar, menampilkan pesan dari Bela; menyuruhnya untuk segera menyusul ke kantin sekarang juga.
Bahkan Bela menambahkan emotikon marah di akhir pesannya. Araya mengerutkan hidung lalu menguap untuk kedua kalinya.
Akhirnya Araya berdiri guna menyusul Bela di kantin, tentu saja Araya masih malas namun jika memikirkan nanti Bela akan marah....itu sedikit menganggunya. Sebab jika Bela marah dan cara membujuknya adalah mentraktir apapun keinginan Bela--------hal itu pula membuat jiwa tak tau diri Bela bergetar, alias dia akan berbelanja sesuka hatinya sampai uang saku bulanan Araya lenyap dalam satu hari.
Membayangkannya saja sudah mengerikan.
Araya menyembulkan kepalanya di depan pintu, melihat kanan dan kiri memastikan suasana sekitar. Ketika dia menatap ke arah kiri, seorang pemuda berbadan bongsor; mereka saling tatap beberapa saat kemudian pemuda itu tersipu, "....hai?" Sapanya ragu. Araya membalas tak lama setelahnya, "Hai Lucas."

KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, Araya! [End]
Novela JuvenilYang engga vote, durhaka kalian...masuk neraka jalur vvip🙏 [Chapter lengkap] __________________ Selesai mengerjakan skripsi, Rana merebahkan tubuh di atas kasur sederhananya. Sebelum dia terlelap merehatkan tubuh; Rana menyempatkan diri untuk memba...